Bola mata mina Kurik membesar. Segurat senyum terlihat di ujung bibirnya yang tipis.
"Siapa?" desak mina Kurik tak sabar.
Retno mengangkat wajah, menatap kami satu-persatu. Tatapannya terhenti pada ayahnya. Ia mulai tampak ragu, membuat kami bertambah penasaran.
"Retno, katakan terus terang, siapa lelaki itu?" Kali ini Galih yang mendesak, sampai kami dibuat kaget. Nada suaranya bahkan terdengar sedikit meninggi.
Entah kenapa Retno mendadak terdiam. Ia tertunduk lesu dengan tatapan kosong. Nada bicaranya tersendat, menyimpan keraguan yang mendalam.
"Samar…aku tak bisa mengingat dengan jelas. Hanya seorang lelaki paruh baya, tapi aku lupa wajahnya. Terlalu asing dan bukan seseorang yang kukenal."
Mina Kurik terpaku mendengar penuturan Retno. Di antara kami, dia yang tampaknya paling pusing.
"Benar-benar rumit dan membingungkan. Mantra panglarangan, hanya bisa disisipkan melalui makanan atau minuman. Artinya, pelakunya seharusnya orang yang sudah dikenal. Jika pelakunya orang asing, kemampuannya benar-benar mengerikan.
Kemampuan mengirimkan mantra melalui tanah dan angin. Kemampuan manusia setengah iblis."Penjelasan mina Kurik yang menggebu membuat kami yang mendengar ternganga. Aku yang sedari tadi mencuri pandang pada Retno ikut terperangah.
"Pantas saja, sudah dicari di setiap pojok kontrakan, tapi tidak ditemukan benda yang mencurigakan," tambah Pak Wardoyo sambil mangut-mangut.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sehat dulu. Sekarang, buang dulu muntahan ini, aku sudah tak kuat. Ingat, kapas hitam itu harus segera dikubur di dalam tanah," seloroh mina Kurik seraya menutup hidung.
Aku terpaksa beranjak sambil menahan napas lantaran Galih memaksa membuangnya ke toilet. Sedangkan kapas hitam, Galih memungut menggunakan tisu sambil menahan jijik.
*****
Seraya mengucapkan doa dalam bahasa Dayak kuno, Mina Kurik mengikatkan benang hitam di semua jempol serta pergelangan tangan dan kaki.
"Batsal ini hanya untuk perlindungan sementara. Untuk melindunginya dari arwah penasaran yang banyak berkeliaran di sini. Bagaimana pun juga, Retno sekarang lamah buluan. Darahnya terlalu wangi bagi mereka yang tak kasat mata," terang mina Kurik seraya mengikat benang terakhir di jempol Retno.
"Lamah buluan?" sahut pak Wardoyo.
"Iya, lamah bulu," mina Kurik mengangguk, "panglarangan membuat tubuhnya rentan jadi incaran kambe hai. Jika lengah sedikit, Retno akan dirasuki berbagai roh jahat yang ingin bersemayam di badannya."
"Mina, sekarang apa yang harus kulakukan? Apakah batsal ini sudah cukup?" tanya Retno sembari memperhatikan benang yang melingkar di pergelangan tangan.
"Hanya sementara. Rohmu harus dikembalikan ke ragamu. Rohmu harus dijemput dengan ritual kariau. Mungkian, kita ada peluang saat ikatan mantra itu sedang tipis. Setelah itu, baru kita lakukan ritual pembersihan."
"Kariau?" Dahi Retno mengkerut.
"Iya, kariau. Ritual memanggil roh. Biasanya untuk memanggil arwah orang mati. Aku belum pernah melakukan pada orang yang masih hidup. Semoga upaya ini berhasil dan kau terbebas dari mantra pengikat itu."
"Kapan mina?" Bu Lastri ikut bersuara.
"Setelah ia benar-benar pulih. Tubuhnya terlalu banyak kehilangan cairan dan nutrisi. Jika ia masih sakit, pikirannya masih lemah. Pikiran yang lemah akan membuat badannya menjadi mudah dirasuki mahluk halus dan sulit disembuhkan," ungkap mina sambil membereskan tas rotannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
HorrorLima tahun lalu, Retno tiba-tiba menghilang hanya beberapa hari sebelum hari pernikahan. Hati Dibyo remuk redam, pernikahan yang ia dambakan gagal berantakan. Yang lebih menyakitkan, Retno pergi tanpa mengucap sepatah kata. Meski telah melakukan be...