Bab 7 : Perempuan Berambut Darah

642 68 11
                                    


"Dibyo, jangan macam-macam!"

Galih mencengkram erat tanganku yang memegang pisau dan merangkulku dari samping.

"Dibyo, apapun yang kau pikirkan, sebaiknya kau hentikan."

Aku tak menghiraukan. Emosiku sudah terlanjur menggelegak dan tak bisa ditahan lagi.

"Dibyo, percaya sama aku, semua akan baik-baik saja. Jangan sampai perjuanganmu sia-sia karena masuk penjara," bisik Galih di telinga.

Aku tersentak. Kata-kata Galih seketika menyadarkanku. Ia perlahan merebut pisau dari genggamanku dan melemparnya begitu saja, lalu mendudukanku di pinggiran beton taman selasar. Taman yang tak terurus.

"Pisau itu, mengupas buah aja tidak mempan," sindirnya.

Kulihat kedua tanganku telah basah dengan keringat dan gemetar hebat.

Puji Tuhan, ucapku dalam hati.

Aku mengucap syukur berkali-kali, aku masih waras. Aku masih belum terjebak dalam bujuk rayu setan. Kuraih kalung rosario dan kugenggam erat di tangan. Aku bersedekap, menundukan wajah lalu memanjatkan doa pengampunan dengan khidmat.

Ya Allah, kasihanilah aku. Di dalam nama Yesus Kristus, Juru Selamatku yang telah menderita sengsara dan wafat bagiku, aku telah meminta ampun.

"Nih, minum!"

Galih menyodorkan sebotol air mineral padaku. Kutenggak air dengan pelan hingga dahagaku perlahan menghilang.

"Bang Dibyo?"

Aku menengadah, rupanya lelaki tadi. Galih bergerak cepat, duduk di sebelah kanan lalu memegang lenganku sangat kencang.

"Bang, aku turut prihatin. Aku baru mengenalnya sekitar enam bulan. Tapi, aku sudah bisa menilai bahwa kinerja Retno memang bagus," ucapnya seraya duduk di sebelah kiri.

Galih yang duduk di samping semakin erat mencengkram lenganku hingga aku meringis.

"Enam bulan?" Aku menatap wajah lelaki ini, meminta penegasan.

"Iya, enam bulan. Aku baru menjabat sekitar enam bulan di kantor cabang ini. Sebelumnya di kabupaten lain. Aku menggantikan kepala cabang sebelumnya yang meninggal dunia."

Galih melepaskan cengkramannya dari tanganku setelah mendengar penuturan lelaki ini. Ia menarik lepas lega, sementara aku bersikap biasa saja. Sekedar basa-basi, aku kembali bertanya.

"Kalau boleh tahu, ia meninggal karena apa?"

Lelaki itu menarik napas pelan, seolah ada kesedihan di garis wajahnya yang bersih dan terawat.

"Entahlah…kematian beliau agak janggal."

"Agak janggal?" Kali ini Galih yang sepertinya tertarik.

"Iya, agak janggal. Almarhum pak Riza tewas tenggelam. Padahal, beliau pernah jadi atlet renang pelajar sewaktu SMP dan SMA. Beliau meninggal saat memancing. Sampan mereka mendadak terbalik walau tak ada arus deras. Dua orang korban lainnya berhasil selamat saat berenang ke pinggir.

Sedangkan pak Reza, ia mendadak tenggelam saat berenang. Seolah ada sesuatu yang menarik tubuhnya dari dasar sungai. Jasadnya ditemukan seminggu kemudian dengan kondisi mengenaskan. Itupun setelah diadakan ritual oleh tetua kampung. Ritual ganti badan dengan mengurbankan babi yang dihanyutkan di sungai."

Aku duduk terpaku mendengar ceritanya. Apakah ada hubungannya dengan kasus yang menimpa Retno atau hanya kebetulan, aku belum bisa menyimpulkan.

Tatkala melihat rekan kerja Retno lainnya keluar ruangan, lelaki itu lantas berdiri. la menyalamiku dan Galih bergantian kemudian pamit. Aku menatap punggung mereka yang berjalan menjauh.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang