"Nak…ini ibu, nak," tegur bu Lastri.Retno memalingkan muka, menatap ibunya seraya tersenyum misterius. Ibu dan bapaknyq terus memanggil, tetapi Retno hanya mematung. Sedetik kemudian tubuhnya melemah lalu limbung begitu saja. Ia kembali tak sadarkan diri dengan wajah pucat pasi. Bu Lastri merangkul anaknya, diciumnya dengan mesra. Ia kembali terisak dengan suara getir yang menyayat hati.
Dibyo, ayo!" ajak Galih.
Aku mengangguk.
"Permisi, bu, pak. Aku dan Galih akan mencari orang yang bisa menyembuhkan Retno," jawabku singkat.
Mereka mengangguk lemah, menatapku penuh harap.
Aku bangkit berdiri dengan penuh keyakinan. Aku melangkah dengan tekat bulat. Aku takkan meninggalkan tanah Kalimantan kecuali bersama Retno. Tentu saja, aku akan membuat perhitungan kepada seseorang yang telah mencelakakannya.
*****
Sekitar pukul 4 sore, aku dan Galih kembali melaju di ruas jalan kota yang lengang. Mobil double gardan berbagai merk terlihat berseliweran. Meski daerah perkotaan, jalan aspal yang kami lalui banyak tanjakan dan turunan. Selain itu, jalannya sempit dan satu jalur. Hanyalah area komplek perkantoran pemda dan rumah jabatan bupati yang landai dan dua jalur. Hutan belantara yang lebat terlihat mengelilingi kota berbukit ini. Informasi dari Galih, kabupaten ini merupakan pemekaran dari kabupaten induk 17 tahun lalu.
Ibu kota kabupaten ini juga tidak terlalu besar. Kurang dari setengah hari, siapapun akan hapal ruas jalan di sini. Aku mengedarkan pandang, memperhatikan aktifitas masyarakat sekitar. Meski berada di daerah pelosok, ternyata kota ini tidak seperti yang kubayangkan.
Selain harga barang yang mahal, kehidupan masyarakat tampak normal. Mereka mengenakan baju dan pakaian layaknya orang kebanyakan. Awalnya, kukira orang Dayak akan mengenakan pakaian tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Kusangka mereka akan menenteng tombak dan mandau kemana-mana. Namun, ternyata semuanya salah. Ternyata di sini tidak jauh berbeda dengan kecamatan di Gunung Kidul.
Aku menatap mesjid dan gereja tampak berdiri di tiap sudut kota kecil ini. Bahkan ada yang berdampingan dan hanya berbatas pagar.
"Di sini, tidak hanya idul fitri, natal pun meriah. Orang-orang akan saling berkunjung meski berbeda keyakinan. Tidak seperti di Jawa, membangun gereja saja sulitnya minta ampun. Di sini, orang-orang Dayak lebih mementingkan persaudaraan daripada hanya ribut masalah cara menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda," ungkap Galih seraya memegang setir.
Aku tersenyum getir sekaligus malu. Perkataan Galih terasa menampar wajahku. Jawa yang katanya lebih maju, justru sering ribut hanya karena perbedaan keyakinan.
"Sebenarnya kita mau kemana, Lih?"
"Ke gereja katolik. Hanya ada satu gereja katolik di sini, lainnya protestan. Mungkin ada pastur yang bisa melakukan eksorsis."
Aku kembali diam, dan menurut saja kemana Galih membawaku.
*****
"Maaf, mas, kami tidak bisa berbuat banyak. Di sini tidak ada fasilitas pengusiran setan. Sebaiknya berdoa, meminta perlindungan kepada Bapak. Tuhan Yesus akan menyertai jika kalian sungguh-sungguh. Selain itu, cobalah hidup harmonis dengan mereka yang tak kasat mata."
Jawaban dari pastor membuatku kecewa.
"Kenapa gak ke psikiater aja mas. Di Palangkaraya atau Banjarmasin kan ada. Dan, sudah ditanggung BPJS," tambah pastur lagi, sembari membenarkan jubuh putihnya yang sudah mulai pudar dan lusuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
HorrorLima tahun lalu, Retno tiba-tiba menghilang hanya beberapa hari sebelum hari pernikahan. Hati Dibyo remuk redam, pernikahan yang ia dambakan gagal berantakan. Yang lebih menyakitkan, Retno pergi tanpa mengucap sepatah kata. Meski telah melakukan be...