Braaak…!Pak Wardoyo tersungkur bersimbah darah. Pinggangnya robek dengan luka mengangga. Ia menjerit kesakitan lalu terguling ke sungai. Ternyata Galih telah datang dengan sebuah mandau. Ia mengibas mandau ke sana kemari membuat yang lain gelabakan.
“Dibyo, lari!!!”
Galih menarik lenganku, kami berdua lantas berlompatan di atas batu, meninggalkan mereka yang terbengong di belakang. Sesampainya di pinggir sungai, kami berdua berlari sekencangnya hingga keringat membasahi tubuh.
Otakku masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi aku tahu mengikuti Galih adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali aku terjungkal karena hanya mengandalkan headlamp yang terpasang di kepala Galih sebagai penerang. Anehnya, sedari tadi kami berlari tapi rasanya hanya berputar-putar di situ saja.
“Galih, tunggu! kenapa kita kembali lagi ke pohon ini?”
Galih menghentikan langkah lalu menyorotkan headlamp ke sekitar. Ia terperanjat tak percaya. Kami kembali berlari sekali lagi, tapi lagi-lagi kembali ke titik semula. Saat itu jantungku sudah tak mampu lagi memompa darah ke seluruh tubuh. Kaki juga sudah tak bisa digerakkan karena ototnya menegang.
Aku duduk tersungkur, tak kupedulikan keadaanku yang seperti orang gila. Galih juga sepertinya sudah kelelahan. Tubuhnya basah oleh peluh dan napasnya ngos-ngosan. Ia meringis lantaran perban yang membalut lengan kanannya mengeluarkan darah. Sumpah serapah keluar dari mulutnya, memaki mina Kurik dengan umpatan kotor.
“Sialan! Mina Kurik sialan! Pasti dukun sial itu yang memantrai hutan ini!”
Aku hanya mematung menyaksikan Galih meluapkan amarah. Setelah kelelahan, ia akhirnya duduk di sampingku. Ia terlihat putus asa dengan tatapan kosong.
“Kita menunggu dulu hingga hari terang. Mantra dukun itu akan lenyap saat matahari terbit. Kalau mereka muncul, maka dengan terpaksa kita haru membunuh mereka,” ujar Galih sembari mengatur napas.
“Apa yang terjadi Lih? Kenapa mereka ingin mengurbankan aku sebagai pengganti Retno? Kenapa kau bisa tahu? Aku…aku…”
Aku tak sanggup lagi berucap sedangkan Galih hanya bergeming. Aku menatap Galih, meminta penjelasan. Ia menunduk dengan suara terputus-putus.
“Kau ingat kenapa aku menghilang sewaktu kita aktif di UKM dulu?”
Aku mengernyitkan dahi. Galih sepertinya mulai meracau tak jelas.
“Bukannya kau harus kerja sampingan demi biaya kuliahmu? Apa hubungannya dengan semua ini?”
Galih menggeleng lalu menatapku.
“Karena kita menyukai wanita yang sama.”
Aku kaget bukan kepalang. Ucapan Galih barusan bagaikan petir di siang bolong. Rasanya jantungku berhenti berdetak mengetahui Galih menyukai Retno.
“Lalu, apa hubungannya dengan semua ini?” desakku.
Galih bungkam. Ia menatap kosong ke salah satu pohon besar yang ada di hadapan kami. Setelah saling diam beberapa saat, aku akhirnya mengerti apa yang telah terjadi selama ini.
“Ka-kau yang memberitahu Retno aku selingkuh? Kenapa Lih? Kau tahu bahwa kami akan menikah sebentar lagi. Kenapa kau hancurkan hidupku Lih? Kau sudah kuanggap saudara, kenapa kau setega itu?”
Aku mencengkeram kerah baju Galih, kuguncang sekuatnya. Galih menepis cengkramanku lalu balas melotot.
“Lelaki bajingan sepertimu tak pantas untuk Retno!” jeritnya.
“Lalu, kau yang pantas?! Hah?!”
Buuk…!
Aku hempas dengan bibir pecah. Galih meninju pipiku teramat keras. Aku terbatuk, lalu menyeka darah yang keluar dari hidung dan bibir. Aku lantas tertawa. Tertawa getir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TerrorLima tahun lalu, Retno tiba-tiba menghilang hanya beberapa hari sebelum hari pernikahan. Hati Dibyo remuk redam, pernikahan yang ia dambakan gagal berantakan. Yang lebih menyakitkan, Retno pergi tanpa mengucap sepatah kata. Meski telah melakukan be...