Bab 15 : Papandui

604 66 12
                                    


Selama beberapa detik aku terdiam, mencoba menelaah apa yang terjadi. Teriakan demi teriakan yang tadi bergema seketika menjadi hening. Dunia terasa hampa dan bergerak sangat lambat. Mala menjerit histeris tapi suaranya seolah lenyap. Tidak ada yang bisa kudengar kecuali kesunyian.

Braaak…!

Pintu belakang akhirnya terbuka dan aku kembali tersadar. Mina Kurik merangsek membawa seember air berisi kembang dan daun mayang. Beberapa langkah di depan, Retno menggeram penuh amarah. Pisaunya menancap dalam di dinding kayu, beberapa jengkal di samping kepala anaknya Ilham. Rupanya bocah kecil itu berhasil menghindar, lalu berlari terseok-seok ke ruang tamu dengan jerit tangis.

Byurrr… !

Siraman mina Kurik membuat Retno menjerit. Ia kaget bukan main lalu tersungkur di lantai, menggelepar bagai ikan di darat. Pisau yang ia pegang terlempar. Ternyata air yang digunakan untuk memandikan Retno cukup ampuh. Buktinya, Retno mengalami gejala kejang. Yang agak janggal, tubuhnya mengeluarkan asap diiringi suara desis. Seperti panci panas terkena percikan air.

Saat itu juga kami bagai terbebas dari belenggu tak kasat mata. Tangan dan kaki yang tadi terkunci kini sudah bisa digerakkan. Kami langsung berhamburan mendekati Retno sedangkan Mala dan Ilham terbirit menyusul anaknya dengan linangan air mata dan jerit histeris.

Retno kejang-kejang dengan mulut mengeluarkan liur dan busa. Matanya melotot dan tubuhnya menghentak-hentak.

"Cepat, bawa dia kebelakang!" sentak mina Kurik dengan ekspresi panik.

*****

Retno berhasil kami gotong dan didudukkan di atas lesung tunggal tanpa masalah berarti. Tatapannya kosong seperti orang linglung. Mulutnya juga tak berhenti berguman tak jelas. Kain tapih bahalai disampirkan di pundaknya, menutupi bagian atas tubuhnya, melapisi pakaian yang ia kenakan. Sedangkan tangan dan kakinya terikat kain putih.

"Tinggalkan kami. Papandui perempuan hanya boleh disaksikan oleh perempuan," terang mina Kurik.

Aku, Galih dan Pak Wardoyo terpaksa menjauh, meninggalkan mina dan bu Lastri di teras belakang. Sedangkan Mala dan Ilham sepertinya masih sibuk di dalam kamar, menenangkan anaknya yang trauma.

Mina Kurik menutup pintu dan kami menunggu dengan cemas. Lima menit berlalu, hanya terdengar bunyi guyuran air. Semua tampak normal, hingga akhirnya terdengar suara rintih kesakitan. Entah apa yang terjadi di belakang sana, Retno mulai menangis. Tangis yang awalnya terdengar lirih, kian lama kian terdengar nyaring. Suaranya mendayu menyayat hati, seperti memendam penyesalan yang mendalam.

Otakku mulai mencerna kejadian barusan. Aku yakin sekali, ikatan tangan Retno tidak mungkin terlepas begitu saja. Seolah tersadar, aku segera bangkit.

"Kemana?" tegur Galih.

Aku hanya diam, melangkah tergesa menuju ruang tamu. Pikiranku saat itu adalah keranjang sampah yang ada di pojokan. Di tempat itulah tadi mina Kurik membuang tali haduk seraya mengucapkan sumpah serapah. Tak perlu waktu lama, benda yang kucari akhirnya ketemu. Segera kuacak dengan tangan, kupilah di antara tumpukan bungkus rokok, tas kresek serta bungkus indomie.

Aku terpana, benda yang kucari akhirnya ketemu. Potongan tali haduk seukuran dua jengkal. Namun, ujungnya tampak janggal. Terlalu rapi jika diputus secara paksa. Jelas sekali, tali haduk ini bukan putus begitu saja, tapi ada yang sengaja memotongnya menggunakan benda tajam.

Pertanyannya, siapa?

"Ngapain, Dib?"

Aku terperanjat, Pak Wardoyo sudah ada di belakang. Entah saja kapan ia mengikuti, aku tidak mendengar suara langkah kakinya.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang