Bab 17 : Kariau

602 64 2
                                    


Malam terasa hening di desa ini. Hanya ada satu dua orang yang lalu lalang menyusuri jalan. Tidak ada lampu penerang jalan dan hanya ada sinar lampu temaram di teras rumah warga membuat jarak pandang terbatas.

Aku sedikit tenang dengan telah kembalinya Galih dan Ilham. Setidaknya ada tambahan lelaki muda untuk mengawali jalannya ritual nanti. Malam itu kami bertiga berbincang di teras, menikmati rokok, minuman hangat serta singkong goreng. Sedangkan pak Wardoyo dan bu Lastri ada di dalam, membantu mina Kurik memandikan Retno.

"Dib, jangan melamun!" tegur Galih.

Aku tersentak.

"Ada apa?"

"Eh, tidak apa-apa," jawabku terbata.

Galih mendelik, menatapku curiga.

"Serius, gak apa-apa, Lih. Cuman gugup aja buat ritual nanti," sambungku lagi.

"Ya sudah. Semoga tidak ada kendala. Besok atau lusa kita berangkat ke Banjarmasin. Setelah menginjakan kaki di Jawa, semua masalah ini selesai. Semoga ingatan Retno tentangmu juga bisa kembali," tutur Galih sambil menyesap rokok.

"Semoga saja," sahutku datar.

Sebenarnya aku masih bingung akan perkataan pak Wardoyo siang tadi. Entah apa yang ia dan bu Lastri rencanakan, mereka tidak berkata rinci. Mereka juga melarangku untuk menyampaikan kepada orang lain, terutama Galih. Mereka hanya bilang akan membutuhkan bantuanku bila tiba saatnya.
Katanya, semua itu mereka lakukan demi Retno. Entah kenapa, aku juga menurut saja meski lidah ini gatal untuk berbagi cerita kepada Galih. Aku seperti terhipnotis tanpa bisa membantah.

"Kenapa harus malam ritualnya? Kenapa tidak sekarang atau besok siang saja?" tanya Galih pada Ilham.

"Memang harus seperti itu. Harus tepat tengah malam, saat keadaan benar-benar senyap. Saat tengah malam, gerbang ke alam roh akan terbuka. Dan Retno harus berhasil di bawa pulang sebelum kokok ayam jantan pertama. Jika tidak…"

Ilham tidak melanjutkan kalimatnya. Ada getir di nada suaranya. Kami lantas membisu. Tanpa perlu ia jelaskan, kami tahu apa yang akan terjadi dengan mina Kurik. Ia akan terjebak di alam gaib selamanya. Mendadak aku terperangah. Jantungku seketika berdebar.

"Ilham, sebentar. Ada yang harus kubicarakan dengan Galih."

Aku beranjak, menyeret Galih menjauh. Ia kaget dan hendak menolak, tapi segera paham ada hal penting yang ingin kusampaikan. Kami melangkah cepat ke bawah pohon jambu, meninggalkan Ilham yang terheran. Namun, entah kenapa lidahku mendadak kelu. Kata-kata yang sudah di ujung lidah sulit untuk terucap.

"Kenapa? Ada yang penting?" desak Galih.

Aku membisu, ragu untuk mengatakan isi pikiran yang menggelayut sejak siang tadi.

"Pasti pak Wardoyo dan bu Lastri, iya, kan?!" tebak Galih.

Aku mengangguk lemah lalu menatap mata Galih dalam-dalam. Kuceritakan tentang kejadian di pinggir sungai siang tadi, Galih terperanjat.

"Sepertinya aku tahu apa yang mereka rencanakan. Kita harus memberi tahu Ilham," kata Galih dengan tatapan nanar.

"Memangnya, apa yang mereka rencanakan?"

Galih menghela napas lalu memegang bahuku. Sorot matanya tajam menghujam jantung.

"Mereka ingin menjebak mina di alam sana dan menukar rohnya dengan roh Retno."

"Tapi, kenapa?"

"Tentu saja untuk pengganti tumbal, apalagi?!"

Tubuhku membeku dan pandanganku kosong. Semua seakan terang benderang. Apa yang ia sampaikan tempo hari kini bukan lagi bualan. Pak Wardoyo penganut pesugihan, dan kini ia hendak menukar Retno dengan mina Kurik. Entah bagaimana caranya masih belum pasti, yang jelas kepercayaanku padanya langsung runtuh detik ini juga.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang