Bab 20 : Ganti Badan

745 79 8
                                    


“Apa yang kalian lakukan di sini?!” sentak lelaki yang membawa senapan angin.

Mina Kurik merangsek ke depan, mengeluarkan buntalan kain berisi tombak. Si lelaki meraih dengan cepat dan membuka bungkusannya. Begitu melihat isinya, si lelaki tercenung. Ia lantas melirik para lelaki lainnya yang dibalas anggukan.

“Nenek yang kalian cari telah mati terpangang di gubuknya tiga tahun lalu.”

Mina Kurik mendengus. Meski berusaha menyembunyikan, tapi ekpresi penuh kecewa tetap terlihat di garis wajahnya.

“Kalian membunuhnya?” selidik mina Kurik.

Si lelaki menggeleng seraya mengembalikan buntalan kain berisi mata tombak.

“Meski kami membencinya, tapi tak ada seorang pun yang berniat mencabut nyawanya. Jujur, kami terlalu takut. Bisa-bisa arwahnya bangkit jadi hantu bergentayangan.”

“Terus, kenapa ia bisa tewas terpanggang?” buru Ilham dengan biji mata menyipit dan dahi mengkerut.

“Tidak ada yang tahu persis,” timpal lelaki lain yang bertubuh lebih pendek, “tak ada seorang pun warga kampung yang tahu pondoknya terbakar. Sepertinya baru ketahuan dua hari kemudian. Itupun karena ada warga yang tak sengaja lewat sini untuk mencari kayu bakar.”

Lima orang warga itu justru berdebat mengenai kematian tambi Bahau. Ada yang bilang ia mati karena bunuh diri, ada yang bilang ia korban pembunuhan. Yang lain bersikukuh ia tewas karena diserang hantu api, seorang lainnya sangat yakin ia meninggal karena nyamuk bakar yang membakar kasur.

Kami yang mendengar justru sakit kepala. Mereka sangat yakin dengan pendapat masing-masing sehingga sepertinya siap berkelahi demi mempertahankan argumen yang ngawur.

“Kalian lapor polisi?” Aku yang jengah akhirnya buka suara.

“Polisi sepertinya tak mau ribet. Lagian, nenek itu tak ada sanak saudara di sini. Tidak ada seorangpun yang merasa rugi akan kematiannya. Ia akhirnya dikuburkan di pemakaman desa. Meskipun kematiannya agak janggal,” ungkap lelaki bersenapan angin.

“Janggal? Janggal bagaimana?” cecar mina Kurik penasaran.

“Dohong menancap di dadanya. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan gosong dengan dohong yang menancap di dada. Kemungkinan ia sengaja membakar pondok lalu menancapkan dohong di dada sendiri. Bisa jadi akibat bisikan yang ia dengar. Konon, menjelang kematiannya nenek itu sering mendengar bisikan-bisikan untuk membunuh diri sendiri.”

Mina Kurik tercenung. Dahinya mengkerut karena berpikir keras. Detik berikutnya ia menoleh ke pak Wardoyo dengan tatapan penuh arti.

“Kau benar…luka bakar. Pelakunya adalah seseorang yang memiliki bekas luka bakar. Retno harus dimandikan sekali lagi, tapi kali ini harus di lakukan di air yang mengalir.”

Pak Wardoyo menarik napas sedalamnya sementara ekspresi wajahnya tak bisa kutebak.
Kami kemudian permisi, kembali ke rumah Ilham karena hari semakin senja.

*****

Langit sudah gelap total setibanya kami di rumah Ilham. Bu Lastri menyambut kami dengan gelisah sementara Retno masih terkulai di dalam kelambu.

“Bagaimana, mina? Tambi Bahau bersedia menerima tawaranmu?”

“Ia sudah tewas. Kita harus mengadakan ritual ganti badan secepatnya,” jawab mina Kurik sembari terus melangkah.

Aku terbirit mengejar mina Kurik yang melangkah ke dapur.

“Ganti badan? Ganti badan bagaimana?”

Mina Kurik tak menjawab dan terus melangkah. Entah mengapa firasatku tidak enak mendengar penuturannya. Di dapur menyiapkan berbagai sesaji yang diperlukan. Setelah selesai, ia membangunkan Retno dengan memercikan air di wajah.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang