Bab 7: Diam-Diam Dicomblangin

129 5 3
                                    

Benar dugaannya. Mendadak tubuh Amran lemas. Berbagai lintasan pikiran buruk tumpah ruah di kepala. Darah. Kematian. Kata kecelakaan mengingatkannya pada almarhum Bapak.

"Ditabrak orang waktu pulang dari salat Magrib di masjid."

Nah, kan, kejadian juga. Amran sudah sering mengingatkan ibunya agar salat di musala dekat rumah saja. Masjid ada di ujung kampung dan harus menyeberang jalan desa. Lepas magrib, jalan itu sepi dan sering jadi ajang ngebut pengendara yang kebetulan melintas, terutama remaja-remaja yang sedang senang-senangnya pegang motor dan baru bisa asal ngegas.

"Sekarang Ibu di rumah sakit."

"Kata dokter kaki Ibu patah dan harus dioperasi. Gimana, Mas? Dokter menunggu persetujuan Mas Amran." Ada jeda tiga puluh menit dari pesan sebelumnya dan ada sepuluh pesan serupa yang dikirim setelahnya. Pak RT pasti sangat bingung.

Amran segera menyentuh panel telepon. Di Indonesia masih jam sembilan malam. Belum terlalu larut dan masih ada kemungkinan dilakukan tindakan operasi saat itu juga.

"Jadi gimana, Pak? Apa Ibu sudah dioperasi?" tanya Arman setelah lebih dulu mengucap salam dan meminta maaf karena baru menghubungi.

"Belum, Mas. Saya tidak berani memutuskan kalau Mas Amran nggak ngomong apa-apa."

"Ada dokter di situ?"

"Ada, Mas."

Detik berikutnya, lawan bicara berganti. Dokter jaga yang menangai ibunya mengambil alih pembicaraan. Amran mendengar penjelasan dokter dan memberi persetujuan tindakan operasi. Arman lega karena dokter mengizinkan surat pernyataan persetujuan melakukan operasi akan ditandangani Pak RT.

"Titip Ibu ya, Pak. Saya akan cari tiket dan pulang secepatnya."

Pak RT sempat memperlihatkan Ratih yang sedang tidur di ranjang rumah sakit. Kekhawatiran di hati Amran sedikit terangkat melihat wajah ibunya. Tidak ada luka serius di kepala padahal sempat membentur aspal. Ada luka lecet, tetapi tidak parah. Perlu waktu agak lama untuk pulih dari patah kaki, tetapi kondisi ibunya cukup stabil.

"Beres, Mas. Insyaallah semua aman terkendali."

"Makasih banyak ya, Pak. Dah sering ngerepotin."

"Nggak ada yang repot. Sudah sewajarnya tetangga saling menolong."

"Sekali lagi makasih banyak, Pak." Amran mengakhiri panggilan. Ia sedikit lega. Di tangan Pak RT,semua akan baik-baik saja. Rumah mereka berdekatan dan Amran kenal baik keluarga Pak RT. Apa yang diucapkannya tadi bukan basa-basi. Mereka telah terbiasa saling bantu sejak lama.

Amran menutup aplikasi WhatsApp setelah Pak RT mengirim nomor rekening, beralih ke aplikasi mobile banking untuk mengirim biaya pengobatan. Lalu, Arman membuka aplikasi penyedia tiket perjalanan. Penerbangan paling cepat ke Indonesia besok siang. Butuh waktu 7-9 jam perjalanan. Ia mungkin baru tiba di Yogyakarta lusa. Ia berpikir untuk mencari pengganti Pak RT menjaga ibunya. Tidak enak rasanya mengganggu pria setengah baya itu terlalu lama. Telunjuk Amran kembali membuka aplikasi WhatsApp, mencari-cari sepupu yang kira-kira bisa dia todong.

"Maaf, Prof. Apakah email materi kuliah hari Senin bisa dikirim ulang? Saya cek email belum masuk."

Pesan dari Mei masuk ketika Amran akan menghubungi salah satu sepupunya. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. Mei sepertinya bisa dimintai bantuan.

Amran menyentuh panel telepon. "Halo, Mei, weekend ini kamu ada kerjaan nggak? Apa kamu bisa bantu saya?" todongnya tanpa basa-basi.

"Apa yang bisa saya bantu, Prof?"

"Saya bisa nitip Ibu saya? Tolong temani Ibu selama saya belum pulang." Amran menceritakan keadaan sang ibu dan dirinya yang baru bisa balik Yogyakarta paling cepat lusa.

"Baik, Prof. Saya ke rumah sakit sekarang."

"Makasih, Mei. Minta rekening kamu, biar saya transfer uang untuk keperluan selama kamu menemani Ibu."

"Tidak usah, Prof. Cuma nemenin saja, kok."

"Ya, udah, besok saja saya traktir kamu." Amran segera menyudahi pembicaraan sebelum Mei menolak.

Melewati delapan jam perjalanan dan sempat delay dua jam karena cuaca, Amran akhirnya mendarat di Bandara Internasional Yogyakarta Sabtu pagi dan segera melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.

Berulang kali Amran melihat arloji. Jalanan ramai dan macet di beberapa titik, mungkin karena weekend. Beberapa kali ia mengetuk-ngetukkan ujung telunjuk ke kaca mobil. Perjalanan terasa begitu lama.

Amran bergegas turun ketika sopir taksi online menghentikan mobil di halaman rumah sakit. Tergopoh ia menyusuri koridor rumah sakit. Ia sudah mendapat nomor bangsal rawat inap ibunya dan tidak kesulitan untuk menemukannya.

Sejenak Amran berhenti di depan pintu kamar ruang rawat inap sang ibu untuk mengatur napas. Ia mengetuk pintu lalu memutar gagang dan mendorongnya perlahan.

Perhatian Ratih yang sedang makan beralih ke arah pintu. Ia tersenyum bungah melihat Amran.

"Gimana kondisi Ibu?" Amran mendekati ranjang lalu berdiri di sampingnya. Diciumnya tangan sang ibu sangat lama. Ia masih belum ingin kehilangan. Amran tidak bisa membayangkan hidup sendiri tanpa Ibu.

"Alhamdulillah Ibu nggak apa-apa, Ran. Alhamdulillah cuma patah kaki. Nggak ada yang serius di kepala padahal Ibu sempat pingsan karena kepala Ibu membentur aspal. Bener-bener pertolongan Allah."

Amran memeluk Ratih seraya mengucap syukur. "Sudah berapa kali saya ingatkan Ibu, salat di musala saja."

"Wis, itu nggak usah dibahas. Salat di mana saja, kalau memang takdirnya jatuh, ya, jatuh." Ratih menepuk pipi Amran. "Alhamdulillah juga ada Pak RT yang bawa Ibu ke sini dan Bu RT yang nungguin Ibu. Pokoknya kita utang budi banyak ke mereka."

"Iya, Bu. Nanti kalau Ibu sudah sembuh, saya silaturahim ke Pak RT buat anter bingkisan."

"Bilang Mbakyumu, suruh pilihin sarimbit yang paling bagus."

Amran mengiyakan permintaan ibunya. "Yang nabrak tanggung jawab nggak, Bu?"

"Ibu nggak ngerti. Kamu tanya Pak RT saja."

Amran mengangguk. Kemarin ia lupa menanyakan hal itu pada Pak RT. Pandangan Amran beralih pada Mei yang duduk di sisi lain ranjang. Perempuan itu sedang memegang semangkuk sup.

Melihat Amran memandang Mei, Ratih menoleh sekilas pada Mei lalu kembali menatap Amran. "Oh iya, RAN, Ibu cepet sembuh karena ditemani cah ayu ini. Kamu mengirim orang yang pas." Ia tersenyum bungah.

Wajah Mei seketika memanas. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Amran.

"Ehm, Prof mau istirahat dulu? Biar saya temani Ibu. Kebetulan hari ini libur dan saya tidak ada agenda." Mei mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin Ratih memuji di depan Amran.

"Tidak, Mei. Saya tidak akan merepotkanmu lebih lama." Amran tersenyum hangat. "Biar saya antar kamu pulang sekarang."

"Tidak usah, Prof. Saya bawa motor sendiri, kok."

"Nggak bisa gitu, Nduk cah ayu. Biar Amran antar kamu pulang." Ratih mengambil mangkuk dari tangan Mei.

"Tapi Ibu nanti sendirian. Kalau butuh apa-apa...."

"Sst, gampang itu. Ibu tinggal pencet bel. Ada suster yang bantu." Ratih memotong kalimat Mei.

"Nanti motor saya gimana, Bu? Kasian dia kalau ditinggal pemiliknya." Mei nyengir.

"Gampang itu. Biar Amran yang ngurus." Ratih menatap Amran sambal mengedipkan mata yang dibalas anggukan pria itu. 

Menikahi Bujang Karatan (SudahTamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang