04. Lepaskan

105 74 161
                                    

"Ketika hati ini terlalu sakit dan kecewa,

aku tidak ingin mengatakan apa pun,

aku hanya ingin menangis untuk gantinya."

-Hadwin Maverik -

----- ----- -----

Pandanganku beredar ke segala arah ruangan ini. Dinding dengan cat warna hitam. Berderet-deret lemari buku mengelilingi. Pemandangan kertas-kertas yang ditempelkan di dinding pun ada. Berserakan jarum, pisau, dan alat tajam lainnya.

Ya, aku sedang ada di kamar pribadiku. Kamar ini berarti sekali bagiku. Kamar yang setia menemani hidup pedihku. Kamar yang menjadi tempat keluh kesahku. Kamar yang menerima derasnya air mataku. Kamar yang menyerahkan kehangatan nya. Kamar yang senantiasa berikan belaian lembut melalui jendela. Ketika tidak ada lagi orang yang peduli padaku, hanya kamar lah yang peduli denganku.

Embun perlahan-lahan memenuhi mataku. Mungkin sudah waktunya melepaskan hujan derasku. Ku lepas bendungan air mata ini yang sedari tadi meminta-minta dibebaskan. Tangisan lara yang sudah ada sedari tadi.

Lega. Aku menangis tanpa suara namun terjun dengan derasnya. Persediaan tisuku sepertinya akan habis untuk malam ini. Tak apa, yang penting hatiku lega. 

Walau ada rasa penat di raga, namun bisa diatasi dengan tidur cukup. Ku seka air mata ini dengan tisu. Perlahan. Sudah reda rasa sakit ini, meski hanya untuk sebentar.

Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu yang membuatku tergesa-gesa menyeka air mata dan membuang saksi bisu tangisku. Kudekati pintu itu dan perlahan ku buka lebar dengan hati yang diselubungi rasa cemas.

"Kamu diikut sertakan lomba olimpiade, ya?"

Kecemasanku terbukti. Orang yang mengetuk pintu kamar ini tidak lain adalah ayahku.

Aku panik. Apakah dia akan semakin memberiku tekanan? Aku tidak ingin. Ayo Hadwin, kamu harus berani menyampaikan pendapat! Baiklah, aku akan mencobanya.

"Kamu besok tidak perlu masuk sekolah, lebih baik kamu..."

"Ayah, aku tidak ingin bimbel. Lomba olimpiade-ku kali ini akan didampingi oleh Pak Rudi. Aku ingin libur bimbel. Biarkan aku libur, ayah."

Oh tidak, aku melihat kilatan cahaya amarah di mata ayah. Tangannya mengepal dan memutih, tanda dia diserbu amarah. Tapi tidak, aku tidak menyesal menantang perintahnya. Karena tentu saja aku pu...

Plak!

Tamparan ini membuat hatiku ciut. Pelan-pelan muncul rasa menyesal. Namun, ini sudah terlanjur.

"Sekarang kamu berani membantah ayah, HAH! Ayah pikir kamu anak yang penurut meskipun tidak terlalu menguntungkan. Tapi apa sekarang? Sekarang kamu membantah ayah. Dasar anak s*tan!"

Hatiku hancur berkeping-keping sudah. Mata ini tak kuasa menahan tangisku. Dengan cepat, mereka sudah meluncur turun hingga ragaku gemetar.

Dengan badan masih bergetar, kucoba mendekati ayah dan mencoba meluluhkan hatinya. Tapi, dia menatapku dengan tatapan garang yang menusuk hati.

"Karena kamu telah membantah ayah, besok kamu harus sekolah dan belajar di lima bimbel. Dan akan dilanjutkan sampai kau berhasil mendapat peringkat satu. HARUS!"

Kalimat itu seketika membuat pusing kepala. Ayah pergi meninggalkan diriku yang sedang gemetar dan menangis sesenggukan.

Selamat Ayah, kau berhasil meninggalkan pahatan lara sekian kalinya.

[Hiatus] Who Am I ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang