01. Gelap

206 101 336
                                    


"Jika anak serba salah di mata para orang tua,

mungkin ada yang harus diperbaiki 

di dalam hati para orang tua itu."

-Hadwin Maverik-

----- ----- -----

Plak!

"Kau ini selalu saja gagal mendapat peringkat satu! Apa gunanya kamu lahir di keluarga ini kalau nilaimu begitu, SADAR!"

Teriakan itu sukses membuat hati ini terluka meluncur keluar dari mulut ayahku. Kata-kata yang seharusnya tidak terucap keluar dari mulut seorang ayah.

Ah, persetan dengan sebutan ayah. Dia seolah memberiku sebuah sugesti buruk tentang ayah. Seorang lelaki berumur yang hanya ingin apa yang terbaik untuk dirinya. Untuk nama baiknya. Tanpa ada rasa peduli.

"Seharusnya kamu sebagai anak sulung itu yang unggul agar dapat menjadi pengganti ayah nanti. Kalau begini bagaimana bisa kau menggantikan posisi ayah?!"

Jangan mengalir, jangan kataku!

Aku tak ingin mengalirkan air mataku ini di jalurnya, aku akan tetap gunakan topeng andalanku. Namun, hatiku seolah tuli akan inginku dan tetap meminta mata supaya menurunkan hujan derasnya.

"Bagaimana kamu bisa menjadi contoh kakak yang baik kalau kau lebih buruk daripada mereka?!"

Ibuku dengan teganya ikut menimpali kalimat ayah untuk membuatku makin terpuruk.

"Lihat adikmu! Haden masih kelas 7 saja sudah dapat predikat siswa terbaik dan Hanna kelas 5 selalu mewakili sekolah. Sedangkan kamu hanya berhasil meraih peringkat 5, itu pun hanya di kelas kamu."

Lagi, kalbuku memang terlalu rapuh untuk ucapan pedih nan getir ini. Aku hanya bisa mengerjapkan mataku, menahan tangis yang ingin meluncur.

"Hari ini kamu tidak boleh keluar rumah! Nanti guru bimbelmu datang ke rumah, supaya kamu tidak perlu keluar."

Ya. Dan aku akan terkekang lagi dengan belajar, Ibu.

"Kamu tidak boleh makan sebelum les selesai, PAHAM!"

Dua manusia yang berstatus orang tua itu pergi meninggalkan diriku yang terluka.

Keluarga Maverik atau tidak lain keluargaku, pendiri HM Group yang dikenal sebagai perusahaan tersukses di dunia ini memang terkenal sebagai keluarga yang sempurna tak kekurangan apa pun. Semua insan takjub melihat akan keberhasilan keluargaku dalam mendirikan perusahaan dan mempertahankannya.

Tetapi tidak bagiku. Selubung iri menelingkup kalbuku akan keharmonisan keluarga lain meski sederhana namun bahagia. Aku benci pada keluargaku yang menuntut supaya meraih hal-hal yang istimewa bagi orang. Dan itu membuatku seperti wayang kulit yang dikendalikan oleh Dalang tua untuk memuaskan para penonton. Seolah tak ada nyawa.

Aku membuang napasku dengan air mata mengalir lewat mata kiriku disusul kanan, lalu berbalik menuju ruang yang yang selalu menjadi tempat dukaku. Ya, aku akan rehat sejenak untuk mengatur lara hati ini sembari menunggu suara klakson mobil itu terdengar, pertanda guru bimbel itu datang memenuhi permohonan ayah.

Tapi tunggu dulu, kurasa aku mendengar suara tawa kecil diiringi sebuah kalimat.

"Hihi, anak sulung kok begitu sih?" 

[Hiatus] Who Am I ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang