Hiatus | Remaja - Drama | 13+
======
"Aku selalu merasa ditinggalkan, tidak berharga, dan kadang-kadang tidak dicintai"
- Hadwin Maverik-
Setiap bunga memiliki makna yang mendalam. Aku adalah bunga Eglantine, "𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘶𝘬𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘮...
"Ternyata, Ayah seorang monster yang tak berwujud besar"
-Heden Maverik-
----- ----- -----
Pov Hadwin
"Ayah jahat!!" tangisku sambil berlari menuju kamar. Biar, aku akan menantang. Aku tidak ingin menuruti permintaan ayahku. Aku tidak akan masuk ke dalam rumah hadiah itu. Tak akan. Untuk apa masuk ke dalam rumah yang berisi niat buruk itu? Yang ada hanya menambah lara di kalbu.
Saat aku sudah berada di depan pintu kamarku dengan segera kudorong pintu itu dan menutupnya kembali dengan keras sekali. Biarlah, biar mereka tahu aku sedang kesal. Aku sudah muak semua ini. Lelah, kesal, dan muak. Muak! Hidup ini memuakkan! Lalu kupandang jendela kamarku yang besar, membangun sebuah angan...
***
Hati ini sangat tidak nyaman mendengar ucapan itu. Jelas, Ayah memang tak menyayangi Kak Hadwin. Padahal, Kak Hadwin juga buah hatinya. Tetapi mengapa diperlakukan seperti itu? Mengapa dibedakan?
Aku pandang ayahku dengan tatapan tajam sekaligus kecewa. Ayah tak sengaja juga melihatku. Kupertegas lagi tatapanku. Sepertinya ayah berbuat seolah-olah tidak tahu kalau aku menatapnya tajam. Ada rasa kesal yang bergumul di hatiku.
"Ayah jahat! Bukankah Kak Hadwin juga keluarga? Mengapa dia diperlakukan berbeda dibandingkan kami? Kakek juga jahat! Seharusnya sebagai Dad Ayah itu bertugas untuk menasihati. Bukan seperti tadi! Ah, semuanya jahat! Jahat!"
Ya Tuhan, aku membentak Ayah dan Kakek. Salah, aku membentak mereka semua. Sama sekali berbeda dari karakterku. Sebenarnya aku orang yang cukup pendiam. Apa aku berdosa karena telah membentak mereka? Tidak, tadi aku hanya menasihati saja kan? Hanya saja intonasi bicaraku yang tidak tepat, tidak terlihat seperti sedang menasihati orang. Lagipula ini demi kebaikan Kakakku.
Jujur saja, aku merindukan tawanya. Kak Hadwin dulu banyak tertawa. Banyak tersenyum. Banyak lelucon. Tapi raib sudah ketika aku kelas 1 SD. Lebih banyak diam. Tak selera makan. Suka mendekam dikamar.
Oh iya, Kak Hadwin! Dengan segera ku berlari menuju kamar Kakak. Tertutup. Sudah biasa. Demi sopan santun lebih baik aku ketuk pintunya.
"Kak, ini aku. Heden."
Aku tertegun. Tak terdengar jawaban. Aku semakin khawatir. Sudahlah, lebih baik aku buka langsung pintu itu. Ini demi kebaikan, bukan? Derik pintu terdengar. Aku terkejut bukan main melihat pemandangan yang ada di depanku.
Gorden robek parah, busa bantal berserakan, kertas-kertas berhamburan, dan...lihat. Ada sosok yang begitu kukenali itu sedang ada di ambang jendela. Berdiri. Siap terjun. Sontak saja aku berlari menghampirinya.
"Jangan loncat Kak Hadwin!"
Aku ulurkan sepasang tanganku untuk menggenggam tangannya dengan erat. Hampir saja. Kak Hadwin hampir saja berhasil jatuh. Beruntung aku sempat mengenggam tangannya. Kak Hadwin menatap tajam diriku.
"Mengapa kau menghentikanku? Kenapa? Apa kamu juga ingin aku semakin sengsara karena hidup ini, HAH?! Apa tidak cukup bagimu setelah membuat diriku terlihat begitu buruk di mata mereka? JAWAB!"
Ada sedikit rasa sakit yang terasa di dalam hati ini, tapi aku berusaha menanamkan sugesti pada diriku. Kak Hadwin sedang lelah atas semua yang terjadi, begitu kata sugestiku. Lagipula lebih perih sakit milik Kak Hadwin karena tidak dianggap lagi oleh keluarga. Jadi, aku akan sebisa mungkin menenangkannya.
"Kak, aku ingin kakak tetap hidup. Aku akan menemanimu, Kak. Aku masih perlu Kakak, masih sayang Kakak, dan rindu Kakak. Tak bisakah Kakak menemaniku? Aku, Heden Maverik bersumpah pada Hadwin Maverik akan selalu ada untuk tumpuan lara hati Hadwin. Jadi, tolong kakak tetap bertahan. Tolong. Pilihan mati itu sama sekali tidak benar dan tepat."
Kak Hadwin memandangku lamat-lamat. Entah, untuk apa? Yang penting bagiku Kak Hadwin sudah tidak mencoba mati lagi.
Astaga, raut wajah itu kembali!
"Sudahlah Heden, aku baik-baik saja. Entah kenapa aku tadi memilih loncat dari jendela. Aku tadi terlalu gegabah. Sepertinya ketika aku melakukan itu sama sekali tidak sadarkan diri. Terima kasih Heden, ternyata kau tidak berubah sama sekali."
Kak Hadwin mengucek-ngucek rambutku. Senyuman itu hadir lagi. Seolah sedang bahagia. Hati ini senang. Akhirnya, hubungan ini kembali bersatu...
***
"Bagaimana solusi untuk hal ini, dad. Heden sepertinya sudah membenci kita semua. Bagaimana kalau dia tidak mau lagi memberikan hal yang baik untuk nama baik kita?"
Di ruang tamu sebuah mansion megah, tengah berkumpulnya para anggota keluarga Maverik. Sepertinya mereka sedang membahas hal penting. Anak-anak mereka bermain di taman mansion itu.
"Entah, bukankah dia itu anakmu? Tentu saja hal itu bukan urusanku."
Dengan santainya pria yang sedang di usia pensiun itu menjawab. Dia menyeruput kopi hitamnya dengan perlahan. Tentu saja itu jawaban yang tidak diharapkan oleh Harrison. Wajah Harrison dipenuhi mendung, masam.
"Hanya Heden saja yang bisa menggantikan posisi kita kelak. Hanya dia harapan kita. Tapi karena insiden tadi sepertinya dia akan membenci kita. Bagaimana?" ujarnya sambil gelisah.
Ayahnya hanya tertawa lebar, "Itu salahmu, Harrison. Untuk apa kamu menjawab pertanyaan Hadwin seperti tadi? Menjelaskannya? Seharusnya kamu hanya tutup mulut saja atau gunakan kata-kata manis palsumu. So, itu salahmu sendiri."
Jawaban itu membuat Harrison tertegun. Tersadar. Lalu merutuki dirinya.
"Sial, benar-benar sial! Mengapa mulutku tidak bungkam saat itu?"
"Sudahlah, honey. Perihal itu tidak perlu kau pikirkan, biar aku saja yang akan membujuk Heden untukmu."
Ucapan itu keluar dari salah satu sekian kumpulan wanita dewasa cantik yang ada di ruang tamu. Awet muda. Dia adalah istri Harrison, Illena. Orang yang Illena tenangkan itu tersenyum.
"Ah, kamu memang baik hati. I love you very much."
Sambil mengeluarkan kalimat itu Harrison mendekati Illena dan menatapnya dengan tatapan bucin. Dan...bermesraan.
"Mengapa pemandangan ini berubah menjadi kebucinan?" tanya salah seorang saudara Harrison. Barusaha tak melihat adegan barusan.
To be continued...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Apa kabar semua? Semoga kalian sehat dan baik-baik saja. Kalau lagi enggak baik keadaanmu cuss curhat ke aku, jangan dipendam. Nanti tambah sakit. Gak baik sakit, entar nanti ditangisi pacarmu. Wkwkwk, canda. Pokoknya jangan lupa curhat ya^^
Makasih udah baca ceritaku. BTW ini draf terakhir, jadi yang berikutnya bakal gak tahu kapan up-nya. Hehe. Maaf kalau terlalu pendek, karena memang aku cuma bisa pendek-pendek. Kalau satu bab panjang mataku capek liatnya. Kecuali kalau buku, panjang sampai tangan ikut berat bawanya gak masalah. Kalau online gak tau gak bisa aja. Siapa yang sama nih?