05. Kenangan

109 71 131
                                        

"Maafkan aku yang membuatmu begini.

Maafkan beta sudah mendatangkan sedih ini.

Maafkan adikmu yang penuh salah padamu."

-Heden Maverik-

----- ----- -----

Kau tahu bagaimana perasaanku sekarang?

Hatiku sedang dipenuhi rasa senang. Bagaimana tidak, tahun ini aku lulus dari jenjang Sekolah Dasar.

Dan mengapa aku merasa senang?

Karena aku lulus dengan predikat siswa terbaik. Suatu kesempatan yang langka. Bahkan, aku mendapatkan beasiswa dari ASEAN schoolarship untuk jenjang Junior High School sampai University.

Sungguh, aku begitu bersyukur atas perkara ini. Hanya saja aku masih memilih sekolah di kota asalku ini. Nantilah saat tibanya jenjang sunior high school aku akan memanfaatkan beasiswa itu.

Ayah Ibuku begitu gembira saat mendengar kabar itu.

Kemudian namaku menjadi tenar. Seorang anak yang lulus dari jenjang SD di usia 10 tahun dan mendapatkan beasiswa ASEAN schoolarship.

Owner HM Group yang dinobatkan sebagai perusahaan tersukses tidak luput dari pujian. Orang tuaku mendapatkan banyak kata selamat dari publik. Bahkan, namaku digaung-gaungkan akan menggantikan kedudukan ayahku kelak. Bagaimana kalbu ini tidak senang mendengar semua hal ini, bukan?

Sejak itu orang tuaku begitu memanjakan diriku. Terserah apa saja keinginanmu akan kami turuti, begitu kata mereka.

Tentu saja di hati ini ada rasa bangga. Sedikit ada rasa cemooh pada saudara di kalbu.

Ya, itu sudah naluri bukan?

Rasa bangga itu tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Tanpa sapaan. Namun, aku tidak tahu bahwa kabar ini juga menjadi kabar buruk bagi seseorang...

***

Tanpa kusadari, Ayah Ibuku sering sekali memarahi kak Hadwin. Dan, hal itu tidak dilakukan saat aku ada di mansion besar ini. Aku baru mengetahui hal itu saat Hanna menceritakannya di rumah saat Kak Hadwin tidak ada di rumah.

"Kakak tahu tidak? Kak Hadwin itu sering banget loh dibentak sama Ayah Ibu. Dan katanya kita lebih baik, lebih hebat, dan lebih berguna ketimbang Kak Hadwin. Ya gimana ya, anak sulung kok peringkatnya paling buruk? Hihi."

Aku mendengar penuturan yang keluar dari mulut Hanna dengan rasa bersalah di hati.

Dan aku baru saja menyadari sesuatu. Suatu kejanggalan di hubungan aku dan kakakku yang memiliki jarak usia yang tidak terlalu jauh. Hubungan yang sempat seperti lem fox. Seperti, ada yang aneh.

***

"Selamat datang kembali, Tuan"

Kaki ini kulangkahkan masuk ke dalam mansion megah dan minimalis itu. Ya, ini adalah rumahku. Sebenarnya aku kurang menyukai rumah ini dikarenakan terlalu besar dan hampa.

Mansion ini memiliki 2 tingkat. Lantai bawah biasanya tempat berlalu-lalang oleh para staf yang bekerja di sini. Para staf memiliki bangunan tersendiri di belakang mansion untuk mereka tinggali. Dan lantai ataslah yang ditempati oleh keluarga kami.

Aku menaiki tangga yang akan mengatarkanku ke lantai atas. Baru saja aku selesai diantar oleh tangga tadi, tiba-tiba ada dua anak kecil berlari mendekatiku.

"Kak Heden! Tadi sudah janji kan?," rengek yang cowok. Dia pemilik nama Harvey. Lalu di sampingnya berdiri seorang adik kecil perempuan yang malu-malu kucing. Namanya Halina. Ya, mereka adalah adik kembarku. Aku tersenyum.

"Ini snack yang kakak janjikan. Jangan berebut ya, nih."

Sepasang senyum cerah menghiasi raut wajah kedua adikku membuat hati ini senang. Mereka dengan lahap memakan snack yang kuberikan tadi. Lucu melihat pipi mereka yang cuby sedang mengunyah itu kempas-kempis.

Ah, aku hanya meniru kebaikan Kakakku kepadaku. Kakak dulu juga suka memberikan snack untukku. Tapi itu hanya masa lalu.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan berat disertai suara 'plak'.

Hmm, mungkin ayah. Tapi untuk apa ayah berteriak?

Setengah hatiku berkata, "Ah iya, mungkin saja sedang menyemangati pemain sepak bola yang ayah lihat di benda berlayar besar itu. Ayah kan suporter sejati."

Tapi setengah hatiku yang lain menantangnya, "Memangnya suporter nampar? Kalau nampar menampar apa coba?"

Dua kubu ini beradu argumentasi terus dan akhirnya kuberanikan diri untuk mendekat ke arah sumber suara itu berasal.

Aku sedikit terkejut.

Karena sepertinya suara itu berasal dari kamar Kak Hadwin. Kak Hadwin memukul apa?

Kakiku dengan cepat mendekati asal suara itu. Aku sudah ada di depan pintu kamar Kak Hadwin yang tertutup. Langsung saja tertegun karena telingaku merekam suara seperti barang-barang dijatuhkan. Dengan segera kubuka pintu itu dan kudapati Kak Hadwin mengerahkan sebuah silet ke arah lehernya. Aku panik.

"Kak Hadwin jangan lakukan itu!"

Dengan segera kupeluk tubuh kak Hadwin itu. Matanya menatap tajam ke arahku.

"Lepaskan, kau lah yang membuat hidupku seperti ini. Jika kamu tidak lahir di dunia ini aku pasti akan mendapat perhatian dari ayah ibu. Kau lah yang merebut segalanya dariku."

"Maafkan aku kak."

Tangisnya pecah sudah. Dengan deras mengalir. Aku menyodorkan saputangan milikku. Kak Hawin menerimanya tanpa berbicara. Hening...

***

6 Tahun yang Lalu

"Haden! Kemarilah, kakak punya sesuatu untuk Haden," seru seorang kakak yang sedang memanggil adiknya.

Tentu saja karena ada kalimat 'punya sesuatu untuk Haden' telah menggugah rasa penasaran adik pendiam itu. Adik itu mendekati kakaknya dengan senang. Kakak itu tertawa senang, lalu menyodorkan snack Keripik Bagnana untuk adiknya.

Raut wajah adik itu makin bersinar. Tersenyum gembira.

"Adik sayang kakak, sayang banget."

"Kakak juga sayang sama adik."

Mereka tertawa bahagia.

Dan, mereka tidak tahu bahwa ini untuk terakhir kalinya mereka tertawa dengan sang Kakak. Karena sebuah insiden terjadi...menghancurkan senyuman yang biasa menghiasi wajah sang Kakak.

To be continued...

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Hai teman-teman

Kayaknya aku bakal update gak menentu, lagi badmood. Hehe^^

Makasih udah mampir

[Hiatus] Who Am I ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang