Pagi kembali menyambut, burung burung berkicau dan berterbangan di atas langit. Pagi ini terlihat sangat cerah dan terasa damai. Bangunan bangunan yang menjulang tinggi menambahkan obyek terindah kota tersebut.
Seorang lelaki yang baru saja bangun dari tidurnya meringis kecil saat merasakan tubuhnya begitu sakit. Punggungnya terasa perih saat menyentuh sehelai kain.
Ia berjalan tertatih menuju kamar mandi. Tidak membersihkan diri melainkan hanya mengompres tubuhnya dengan air hangat. Sesekali ia meringis kecil saat handuk dan air hangat itu mengenai bagian belakangnya yang terluka. Walaupun agak kesusahan tapi ia tetap berusaha menghilangkan noda darah yang sudah kering itu.
Setelah itu barulah ia keluar dan mulai mencari seragam sekolahnya. Hari ini ia tak boleh absen karena hari ini adalah ulangan harian Kimia. Ia harus menyelesaikannya dan harus mendapatkan nilai paling tinggi. Dia tidak mau mendapatkan hukuman yang setimpal dan lebih menyakitkan dari pada semalam. Luka ini saja membuatnya tak mampu menahan apalagi jika di tambah? Ahhh ia tak bisa membayangkannya.
Tok tok
Ketukan pintu membuat Bintang menoleh malas. Ia sudah mengetahui siapa yang mengetuk pintunya di pagi pagi seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Langit.
"Gak usah nyari masalah, luka gue belum sembuh," ucapnya terlebih dahulu mengingatkan Langit agar tidak berulah.
Langit tak menjawab melainkan ia kaget melihat pemandangan di depannya. Punggung Bintang di penuhi dengan luka luka hasil cambukan dari papanya. Tak hanya itu, lengan dan kaki lelaki itu juga terluka begitupun dengan wajahnya yang di penuhi memar dan lebam.
Ia meringis sendiri melihat kondisi adiknya. Pasti itu sangat menyakitkan.
"Aghhh!" Bintang menggeram saat Langit dengan sengaja memukul luka di punggungnya menggunakan dasi.
"Gila lo?"
Langit tertawa kemudian menduduki bokongnya di kasur empuknya. "Kalau sakit bilang. Gak usah sok kuat," sinisnya sambil terus menatap Bintang yang menatapnya tajam.
"Sebelum Papa datang lo sekarang keluar. Gue lagi gak mau drama pagi pagi, Lang." usirnya dengan nada dingin. Ia kembali dengan kegiatannya yaitu mengenakan seragam dengan hati hati.
"Gak usah sekolah Bin, luka lo kayaknya parah," ujar Langit sedikit kasihan.
"Khawatir lo?"
Langit menunjuk dirinya sendiri. "Gue khawatir sama lo? Haha gak usah mimpi Bin, gue cuma kasian dikit. Ntar kalau Mama lo tau kan nanges hahaha," Langit tertawa terbahak bahak.
"Diam!" Bintang langsung mengambil kasar tasnya di atas kasur. Sejenak ia menatap Langit dengan tajam lalu keluar begitu saja.
"Motor gue mana?" herannya saat tidak mendapati motornya di garasi rumah. Padahal ia ingat sekali motornya ia parkir di sini.
"Motor lo udah gue pake buat taruhan Bin! Kalau mau pake motor pake motor gue aja yang butut itu. Udah gak gue gunain!" teriak Langit yang datang tiba tiba dari belakangnya.
"Bangsat lo!" baru saja Bintang maju ke arah Langit tapi Bara datang di tengah tengah mereka membuatnya mengurungkan niat.
"Masih tidak ada bersyukurnya kamu?! Bagus bagus saya kasih kamu motor Langit dari pada tidak ada sama sekali. Jadi kamu jangan ngelunjak! Pakai yang ada, jangan menyusahkan!" bentak Bara dengan tatapan tajamnya. Terlihat lelaki paruh baya itu sedang membawa sebuah koper dan tas yang pastinya berisikan berkas berkas penting.
Bara kembali menatap Langit. "Papa mau keluar kota dulu yah, soalnya Papa lagi ada urusan penting. Ada klien yang ngajak Papa ketemu." Ucapnya kepada Langit membuat Langit mengangguk patuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Bintang
Teen FictionSederhana tapi menyedihkan. Kisah seorang pemuda bernama Bintang yang selalu menyembunyikan lukanya kepada semua orang. Hidup di lingkaran orang orang jahat sudah terbiasa baginya. Di sakiti, di hina dan di caci maki selalu ia dapatkan dari orang or...