"Jangan harap Papa sayang sama kamu! Buang jauh jauh harapan kamu itu karena sampai kapanpun kamu anak yang tidak berguna bagi Papa!"
"SAYA MUAK LIHAT MUKA KAMU! MATI SAJA KAMU, BINTANG!"
Kata kata Bara masih terbayang di kepalanya. Dadanya kembali sesak betapa kejam Bara memukulnya tadi. Rasanya tubuhnya mati rasa. Dia ingin mati saja. Dia lelah.
"Bintang juga muak sama sikap Papa," gumamnya sembari menunduk sedih. Air matanya jatuh membasahi pipi. Sesekali ia sesenggukan.
Rasa kecewa, marah, sedih semuanya tercampur aduk. Kenapa? Kenapa Bara sampai sekarang tidak pernah berubah? Malah lelaki itu semakin menjadi jadi.
Bintang mengira setelah memenangkan lomba, ia akan mendapatkan kata kata pujian dari Bara tapi nyatanya malah sebaliknya. Bara malah memaki dan menghinanya. Kata Bara dia tidak berguna dan tidak bisa di banggakan.
Kekehan getir keluar dari mulutnya. Percuma ia berharap lebih tapi ujung ujungnya malah semakin membuatnya hancur.
"Den," panggil Bi Mimi seraya memasuki kamar Bintang. Wanita itu membawa baskom kecil yang di isi air hangat beserta handuk kecil.
"Sini, Bibi obatin," Bi Mimi perlahan duduk di bibir ranjang kemudian mengompres luka luka majikannya itu.
Tiba tiba air matanya keluar. Kenapa di saat melihat Bintang seperti ini, hatinya menjadi sesak?
"Bi Mimi jangan nangis," ucap Bintang lalu mengusap pipi Bi Mimi guna menghilangkan air mata. "Gak perlu nangisin Bintang."
Bi Mimi geleng kepala. Ia masih bisa tersenyum walaupun hanya terpaksa karena ia harus kuat di depan Bintang yang rapuh.
"Den Bintang yang kuat yah? Jangan menyerah."
Jika tidak ada Bi Mimi yang terus menyemangatinya, Bintang tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Mungkin sudah lama ia menyerah.
"Den Bintang jangan pernah menyerah. Bibi tau, selama ini Den tersiksa dan hancur tapi Bibi tau Den kuat. Bibi juga yakin, suatu hari nanti, Tuan Bara akan berubah dan menyadari semuanya," ucap Bi Mimi dengan tenang. Ia masih sibuk mengompres luka luka di tubuh Bintang. Heran karena lelaki itu tak merasakan kesakitan sedikit pun.
Mungkin sudah terbiasa.
"Apa Bintang mati aja yah, Bi?" perkataan Bintang membuat wanita berumur lima puluh tujuh tahun itu menghentikan kegiatannya. Matanya kembali memanas karena tahu arah pikiran Bintang.
"Kata Papa, Bintang gak guna. Bintang cuma bisa nyusahin dan gak ada yang bisa di banggain dari Bintang. Kata Papa, Papa muak dan gak sudi punya anak kayak Bintang ... " lirihnya sembari menunduk sedih. Tangannya mengepal kuat dan bergetar.
"Bintang gak kuat, Bi."
Bi Mimi segera menaruh baskom dan handuk itu kemudian mengusap usap surai rambut tebal Bintang. "Hey, Bibi kan udah bilang. Den Bintang itu harus kuat. Gak boleh menyerah. Bibi tau kalau Bintang cape tapi Den istirahat jangan menyerah. Jangan dikit dikit berpikiran buat bunuh diri, karena itu dosa Den."
"Den mau kan ketemu sama Mama?" kata itu lagi. Sudah berapa kali Bi Mimi berkata seperti itu tapi Laura tak kunjung datang. Wanita itu sudah hilang entah kemana.
"Bintang mau ketemu Mama tapi Bintang harus cari Mama kemana lagi? Mama gak pernah datang dan Bintang juga susah nyariin Mama."
"Bertahun tahun Bintang menunggu tapi Mama gak pernah datang. Bintang udah kayak orang gila aja nungguin dia," lanjutnya.
Bi Mimi tak berkata lagi. Betul kata Bintang. Semenjak Laura pergi, wanita itu tidak pernah kembali lagi. Waktu itu Laura pergi setelah memberikannya sebuah pesan dan itu adalah pertemuan terakhirnya dengan majikannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Bintang
Teen FictionSederhana tapi menyedihkan. Kisah seorang pemuda bernama Bintang yang selalu menyembunyikan lukanya kepada semua orang. Hidup di lingkaran orang orang jahat sudah terbiasa baginya. Di sakiti, di hina dan di caci maki selalu ia dapatkan dari orang or...