3

14.3K 1.3K 44
                                    

Vote dulu sebelum baca

###

Alandra masuk kedalam toko mainan. Keluarganya yang lain sudah masuk lebih dulu. Alandra menghela napasnya.

Di masa lalu, saat Alandra menginginkan sebuah Lego edisi terbatas, kedua kakaknya bertengkar karena memperebutkan mainan yang Alandra tidak ketahui. Ayah dan ibunya berusaha memisahkan keduanya sehingga mereka melupakan keinginan Alandra.

Saat itu, posisi Lego yang Alandra inginkan, disimpan di etalase bagian atas hingga tangan pendeknya tidak sampai untuk meraih Lego tersebut. Alandra sudah meminta pegawai toko untuk memberinya, hanya saja pegawai toko mengatakan bahwa Lego itu bisa diberikan setelah dilakukan pembayaran.

Rio meminta Alandra untuk menunggu di dekat kasir karena ia dan Clarissa harus mencari mainan lain agar kedua anaknya berhenti bertengkar. Alandra menunggu dengan gelisah karena stok Lego yang ia inginkan terus menipis. Orang-orang terus membelinya hingga pada akhirnya Alandra tidak kebagian.

Keluarganya datang saat mata Alandra sudah memerah menahan tangis. Alandra mengadu pada ayahnya bahwa ia menginginkan sebuah Lego. Rio meminta pegawai toko untuk memberikannya, namun pegawai toko mengatakan bahwa stoknya di toko itu sudah habis.

Alandra harus pulang dengan kekecewaan yang mendalam.

"Kenapa halus inget lagi sih." Alandra menggeleng cepat mengenyahkan kenangan yang kembali ia ingat.

Alandra melihat Lego yang pernah ia inginkan di masa lalu. Untungnya, ia membawa sebuah amplop yang pernah ia dapatkan dari om nya. Alandra mendekati kasir lalu menyerahkan amplop berisi uang miliknya itu.

"Kakak, tolong ya. Andla pengen Lego yang itu. Yang walna bilu. Ini uangnya Andla dapet dali om. Andla juga minta kelas sama pulpen ya kak." Alandra menunjuk kotak Lego berwarna biru. Kasir yang mengerti segera menuruti keinginan Alandra. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dalam amplop itu lalu menyerahkan kembali amplop itu pada Alandra.

"Adek, ini uangnya kebanyakan. Kamu simpan sisanya ya, hati-hati." Kasir itu memasukkan Lego yang Alandra beli kedalam paper bag.

"Nah, ini Lego nya. Ketas, pulpen sama kembaliannya udah kakak simpan didalam tas. Makasih ya dek." Kasir itu mengelus rambut Alandra sambil tersenyum.

Alandra mencari keberadaan keluarganya. Mereka tengah sibuk memilih berbagai mainan untuk kedua kakaknya. Alandra sekali lagi menghela napasnya.

'Jangan iri Andra. Sekarang lo udah beli barang yang paling lo pengen pas kecil.'

"Kakak kasil, kalo ada yang nyali Andla. Tolong bilangin kalo Andla di kamal mandi." Alandra menitip pesan yang dibalas anggukan.

Mami sama papi kesini ngajak Andra buat apa?
Katanya ngajak Andra buat beli mainan. Tapi kenapa mami sama papi sukanya bareng kakak? Andra pengen Lego ini mi, pi. Tapi mami sama papi gausah khawatir, Andra udah beli pake uang sendiri. Waktu itu om Niel ngasih Andra uang, katanya buat jajan tapi Andra simpen. Mami, papi, sama kakak, Andra sayang semuanya.

Alandra memasukkan kembali kertas yang sudah ia tulis kedalam tas berisi Lego. Dilihatnya sekeliling kamar mandi di toko mainan, matanya menangkap sebotol sabun pembersih toilet menganggur di pojokan. Alandra juga melihat sabun cuci tangan yang disimpan di dekat wastafel. Tanpa pikir panjang, Alandra mengambil dua botol sabun cair itu.

Alandra memasuki salah satu bilik kamar mandi. Ia menggantung paper bag berisi mainannya di gantungan yang sudah disediakan.

Alandra membuang sebagian sabun cuci tangan hingga menyisakan seperempat botol, lalu ia mencampur sabun pembersih toilet kedalam botol itu. Alandra mengisi botol itu dengan sedikit air.

Alandra memandang botol itu beberapa saat.

'Langsung mati ga sih? Kalo di tv keliatannya langsung mati.'

Alandra menggeleng cepat. "Gaboleh lagu Andla. Belum juga dicoba."

Alandra memejamkan menghela napasnya lalu memejamkan mata sesaat. Ia membuka tutup botol berisi cairan yang ia oplos. Alandra meneguk cairan dalam botol itu dengan cepat. Sesekali keningnya mengernyit merasakan betapa pahitnya cairan sabun itu

Raut wajah Alandra berubah drastis. Matanya memerah, bibirnya merintih, mencoba menahan muntah saat rasa pahit sabun cair itu memenuhi mulutnya.

Dugh

Alandra membenturkan kepalanya pada kloset, kepala bocah itu mulai terasa pusing, pindah ke perut, Alandra menahan sensasi nyeri di perutnya. Pandangan Alandra perlahan memburam. Semuanya mulai menjadi gelap.

###

"Varo, Vero! Cepet pilih mainannya. Kalian ga inget, kalo kita kesini sebagai permintaan maaf buat Andra. Ko jadi kalian sih yang ribut?" Rio menatap jengah kedua putranya yang masih berdebat satu sama lain. Benar kata orang, saurdara yang tidak berbeda jauh usianya selalu saja ribut.

"Udahlah pi, biarin mereka. Lagian Andra ada ko. Tadi mami liat Andra lagi nunggu di kasir." Clarissa menghentikan ocehan suaminya. Memang benar, niatnya kemari untuk meminta maaf pada putra bungsunya. Hanya saja, anak pertama dan keduanya sangat sering beradu mulut hingga membuat kepalanya pusing.

"Mami, Vero tuh maunya yang kaya kak Varo. Liat tuh, lebih bagus yang itu mi." Vero menunjuk mobil mainan yang dipegang kakaknya.

Varo melotot. "Gabisa mi, Vero tuh adik aku, bukan kembaran. Aku gamau terus disamain sama Vero. Harusnya dia pilih yang warna lain."

"Mami... Kak Varo tuh, gamau disamain." Vero kembali merengek.

"Kalian berdua lupa tujuan kita ke sini? Pilih yang mana aja, terus kita ke kasir, temuin Andra. Kalo ngga, kalian papi tinggal."

Rio berlalu meninggalkan mereka. Ia melangkahkan kakinya menuju kasir, tempat dimana Alandra berada. Keningnya mengernyit heran saat menyadari tidak ada keberadaan putra bungsunya.

Rio berusaha tenang, ia memindai seluruh toko berharap putra bungsunya masih ada di sana.

"Ck! Andra, kamu dimana?"

Rio terus melihat-lihat sekita hingga tepukan di pundaknya membuat Rio menoleh.

"Bapaknya cari anak kecil? Segede gini?" Seorang kasir dari meja sebelah menghentikan kegiatan Rio. Tangannya menunjuk pada bagian pinggang.

"Mbak liat? Sebentar." Rio meraih ponselnya yang berada di dalam saku celana. Ia menggeser ikon kunci lalu beralih pada galeri. Rio terus menggulir foto-foto dalam galeri, kegiatannya terhenti saat menyadari bahwa dirinya tidak memiliki satupun foto Alandra.

"Pak, kalo gasalah, nama adeknya Andra? atau Andla ya? Soalnya tadi adeknya kaya cadel gitu pa."

Rio menggeleng pelan. "Mbak tau anak saya pergi kemana? Bener mba, namanya Andra. Dia masih cadel. Soalnya baru lima tahun, tapi udah masuk SD."

"Oalahh, pinter dong ya. Tadi adeknya bilang kalo ada yang nyari, kasih tau aja, adeknya ke toilet. Oh iya, toiletnya sebelah sana." Kasir itu memberi pujian sekaligus petunjuk pada Rio.

Rio tersenyum tipis, benar, putra bungsunya itu pintar. Dia bahkan menunggu dengan tenang saat kedua kakaknya bertengkar memperebutkan mainan. Rio juga memberi pujian dalam hatinya karena Andra bisa memberi pesan dengan benar pada kasir di toko itu.

Rio melangkah menuju toilet. Matanya menyipit melihat toilet yang begitu sepi, hingga cairan hijau yang keluar dari salah satu bilik di toilet itu menarik perhatiannya.

Langkah Rio mulai memelan. Detak jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Rio tidak ingin memeriksa bilik toilet yang lain. Tangan kiri Rio sampai pada handle pintu, lalu tangannya mengetuk pintu itu dengan pelan.

"Andra, kamu di dalem?"

Rio tidak mendapatkan jawaban.

"Andra, papi tau kamu marah. Buka pintunya ya dek, kita beli mainan yang kamu mau." Rio kembali mengetuk pintu namun lagi-lagi ia tidak mendapatkan jawaban.

"Dek."

Tangan Rio tanpa sengaja menelan handle pintu hingga pintu itu terbuka. Matanya membelalak melihat Alandra tidak sadarkan diri dengan kepala yang bersimbah darah.

"ALANDRA!"

###

Shit! I'm Back [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang