Vote dulu sebelum baca
###
Rio duduk di bangku keras ruang tunggu rumah sakit, tubuhnya terasa berat dan matanya tertuju ke lantai. Dinding putih yang biasanya terasa menenangkan, kini malah menambah beban di dadanya. Bayangan kejadian beberapa jam lalu terus terputar di pikirannya, mengisi hatinya dengan kecemasan yang tak terkira.
Rambutnya kusut, tangan gemetar saat mencoba merapikan kemeja yang masih dipenuhi darah putranya. Ia mendengar detak jam dinding yang seolah memperlambat waktu. Suara langkah kaki para perawat dan dokter yang berlalu-lalang terasa semakin memekakkan telinganya.
Ponselnya tergeletak di lantai, layarnya masih menyala, menampilkan riwayat panggilan yang ia lakukan pada ART-nya.
Kedua tangannya kini memegangi kepala, menunduk lesu, seolah ingin menahan dunia yang seakan runtuh di atasnya. Pikirannya melayang-layang, mencoba mengingat senyum ceria putra bungsunya yang sering kali ia abaikan. Ia berusaha keras menahan air mata yang akan jatuh.
'Kamu harus baik-baik aja Andra. Jangan pergi.'
Rio menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Ia segera berdiri dan mendekati dokter yang baru saja keluar. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Pasien tidak bisa diselamatkan," ucap Dokter dengan suara pelan sambil menunduk.
Rio menelan ludahnya dengan susah payah. Ucapan dokter dihadapannya membuatnya seakan tersambar petir. "Ga mungkin," ucap Rio dengan pelan. Tatapannya kosong menatap lantai rumah sakit yang dingin. Rio merasakan lututnya lemas, hampir jatuh jika tidak ada kursi yang segera didudukinya. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia hentikan.
Clarissa muncul di koridor rumah sakit, napasnya yang terengah-engah, ia berlari kecil menghampiri suaminya. Ia melacak ponsel suaminya dengan ponselnya setelah berjanji akan mengganti ponsel milik ART nya. Perasaannya semakin gelisah saat mengetahui bahwa Rio berada di rumah sakit.
"Ri-Rio, gimana Andra?" tanyanya dengan suara gemetar. Melihat pakaian Rio yang terkena noda darah, membuat pikiran Clarissa melayang kemana-mana.
Rio memandang Clarissa dengan tatapan kosong, matanya basah oleh air mata yang terus mengalir, "Gaada," jawabnya dengan suara serak, hampir tidak bisa berbicara.
Clarissa menggeleng pelan, "Ga mungkin." Clarissa berusaha mengelak.
"Kamu pasti nge prank aku kan? Kamu marah kan karena aku lupa sama Andra? Sekarang aku udah inget, dimana Andra? DIMANA ANDRA, RIO!?" Clarissa mencengkeram kedua bahu suaminya. Matanya berusaha mencari kebohongan di wajah Rio.
"ANDRA UDAH GAADA! DIA KETABRAK WAKTU LARI JELUAR GARA-GARA OMONGAN KAMU!" Amarah Rio akhirnya meledak. Ia melepaskan tangan Clarissa dengan kasar, Clarissa yang sudah tidak bertenaga kini duduk di lantai.
"Kamu yang tega! Bisa-bisanya kamu lupa sama Andra, terus sekarang nangis-nangis nyesel!? Iya? Pergi kamu dari sini," usir Rio pada Clarissa. Sungguh, ia merasa menyesal karena memilih untuk berdebat dengan istrinya dan mengabaikan Alandra hingga putra bungsunya tiada.
Clarissa terperangah mendengar perkataan suaminya. "Kamu nyalahin aku!? Kamu sendiri gak tau kalo aku lupa kan!? Kamu juga ikut-ikutan telantarin Andra. Kenapa cuma aku yang di salahin? Kamu juga salah!" teriak Clarissa diiringi isak tangis. Seharusnya suaminya mengetahui bahwa ia kehilangan ingatan tentang program surrogasi yang mereka lakukan.
Koridor rumah sakit itu kini dipenuhi suara tangisan Clarissa. Ia baru saja mengingat bahwa Alandra adalah putranya tapi Alandra sudah tiada.
"Adek, maafin mami nak," ucap Clarissa dengan suara lirih sebelum kesadarannya terenggut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shit! I'm Back [END]
Fantasy#Story Regresi [Non Isekai] Katanya, jadi anak bungsu itu enak ya? Iya, enak. Keliatannya. *** Harusnya Alandra mati setelah bunuh diri, sayangnya Alandra malah kembali ke masa kecilnya. Sudah Andra putuskan, Andra harus mencari cara lain untuk mati...