Vote dulu sebelum baca
###
'Kenapa sih, sikap mami kaya gitu sama gue? Beda banget kalo mami lagi sama kakak-kakak gue.'
'Coba aja kalo kak Valo atau kak Velo sakit, mami pasti langsung khawatir terus bawa mereka ke RS.'
Alandra menatap kosong plafon kamarnya, dengan kedua tangan sebagai bantalan. Perkataan ibunya masih terngiang-ngiang di kepala, membuat hatinya terasa berdenyut.
"Hahhhhh."
Alandra menghembuskan napas panjang. Tatapannya beralih pada pintu balkon kamar yang tertutup. Perlahan, Alandra mengubah posisinya menjadi duduk. Ingatan saat ia mengakhiri nyawanya dengan cara menggantung diri di balkon kamar kembali melintas. Bahkan rasa sakit di lehernya masih terasa meskipun beberapa waktu sudah berlalu.
Alandra bangkit dari tidurnya dan mendekati pintu balkon lalu membukanya. Hembusan angin yang dingin menerpa wajah pucat Alandra. Kaki kecilnya terus melangkah hingga mendekati pembatas balkon. "Aneh yah, kenapa gue ga mati? Kenapa gue halus ngalamin lagi masa-masa ini? Atau jangan-jangan, ini hukuman kalena gue yang deketin Tuhan duluan?"
Alandra memegang pembatas balkon dengan erat.
Di masa lalu, saat perayaan kelulusan SMA, dimana Alandra terpilih sebagai siswa berprestasi yang selalu menyumbang banyak piala untuk sekolah, tidak ada satupun anggota keluarga yang menemaninya. Setelah mencari tahu, kakak keduanya tengah sibuk dengan dunia kuliah sementara orang tuanya menghadiri acara perayaan ulang tahun perusahaan kakak pertamanya. Saat itu, Alandra sudah sangat muak dengan keluarganya. Ia sudah bersusah payah melakukan banyak hal agar dilirik oleh orangtuanya, namun hasilnya nihil. Tanpa pikir panjang, Alandra pulang dengan perasaan kecewa lalu mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di balkon kamarnya.
"Kalo di liat-liat, nih tempat tinggi juga. Gue bakal langsung mati gak ya? Kalo loncat sekalang." Alandra bergumam sambil melihat permukaan tanah yang terasa jauh.
"Gak... Bental lagi kak Valo sama kak Velo balik, kasian meleka kalo halus liat mayat gue."
Kedua kakak Alandra, Alvaro dan Elvaro dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari orang tuanya. Entah separah apa trauma mereka jika melihatnya mengakhiri hidup.
"Kayanya gue juga halus bikin lencana yang mateng deh. Bisa-bisa gue nyasal di lumah sakit jiwa kalo ketauan telus-telusan nyoba bunuh dili."
Alandra mengurungkan niatnya lalu kembali masuk ke dalam kamar. Memikirkan berbagai cara untuk mengakhiri hidupnya.
*
*
*Pagi ini Alandra yang sudah memakai seragam sekolahnya bergabung dengan keluarganya untuk sarapan bersama setelah dipanggil oleh salah satu art. Ada ekspresi terkejut di wajah Rio yang tidak disadari Alandra.
"Ck!" Decakan pelan dari Clarissa membuat Alandra yang tengah duduk menoleh ke arahnya.
'Gue ko bisa disini ya? Harusnya tadi permintaan bi Ima gue tolak aja.'
Alandra menundukkan kepalanya, ia tidak berani berlama-lama menatap wajah ibunya.
"Papi denger kamu pulang siang kemaren dianterin Reyhan. Kenapa gak ngasih tau papi dek?" Rio mengawali percakapan. Ia menatap sendu wajah pucat Alandra. Setelah melihat kepala putranya yang bersimbah darah, juga penolakan Alandra akan kehadirannya di rumah sakit, Rio menyadari kesalahannya. Pria beranak tiga itu mulai mengingat-ingat bahwa ia dan istrinya tidak begitu memperhatikan putra bungsunya.
"Andra, kamu baik-baik aja? Kepala kamu masih sakit ga? Maaf yah, kakak gabisa jenguk, soalnya di SMP pelajarannya ga kaya di SD." Varo bertanya sambil mengoleskan selai cokelat pada roti. Ia juga memiliki ekspresi merasa bersalah di wajahnya. Setiap kali ia dan Varo menanyakan keadaan Alandra, ibunya selalu mengalihkan perhatian mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shit! I'm Back [END]
Fantasy#Story Regresi [Non Isekai] Katanya, jadi anak bungsu itu enak ya? Iya, enak. Keliatannya. *** Harusnya Alandra mati setelah bunuh diri, sayangnya Alandra malah kembali ke masa kecilnya. Sudah Andra putuskan, Andra harus mencari cara lain untuk mati...