4

12K 1.1K 44
                                    

Vote dulu sebelum baca

###

Alandra menghela napasnya saat ia menyadari bahwa dirinya masih hidup. Matanya menatap sekitar, saat ini, dirinya berada di rumah sakit.

'Aneh, harusnya kalo sabun cair murah, bahan kimianya banyak dong. Ko gue masih selamat ya? Apa jangan-jangan sabun yang di toko mainan itu pake nya yang premium? yang kebanyakan pake bahan alami?'

Alandra merasakan kepalanya berdenyut nyeri, ia juga melihat masker oksigen bertengger di wajah manisnya. Anak itu mengabaikan rasa sakit di kepalanya, otak kecilnya kembali memikirkan cara agar ia bisa segera mengakhiri hidupnya.

'Ini lantai berapa ya? Kalo gue loncat, mati ga ya? Tapi kayanya sekarang gue lagi dipantau deh sama dokter.'

Alandra melihat jendela di kamar inapnya. Ingin sekali ia melompat lewat jendela itu namun saat ini ia tidak memiliki tenaga sedikit pun.

Mata sayu Alandra menoleh saat ia mendengar suara pintu terbuka. Alandra melihat seorang pria dewasa dengan jas dokternya diikuti seorang perawat. Dokter itu tersenyum tipis pada Alandra. "Syukur deh kamu udah sadar, ada yang sakit ga? Atau sesek?"

Alandra mengabaikan pertanyaan dokter itu. Seharusnya dokter itu tidak menyelamatkannya.

'Gara-gara dia, gue masih hidup.'

Dokter itu tampak kebingungan namun itu hanya sesaat. Ia kembali mengembangkan senyumnya. "Dokter periksa dulu ya."

Dokter memeriksa Alandra dengan cermat, mencatat tekanan darah, detak jantung, dan memeriksa bagian-bagian tertentu pada tubuhnya. Alandra masih terdiam, pikirannya tetap terjebak dalam kerumitan emosionalnya.

"Jangan malu-malu, kasih tau dokter atau kakak perawat soal apa yang kamu rasain. Kita harus tahu detailnya buat kasih perawatan yang tepat," ucap dokter dengan nada lembut.

Alandra hanya mengangguk pelan, meski sebenarnya hatinya berteriak agar dokter itu pergi. Perawat yang menyertainya membantu mengganti infus dan memastikan Alandra mendapatkan perawatan yang diperlukan.

Setelah selesai pemeriksaan, dokter kembali duduk di samping tempat tidur Alandra. "Kamu abis keracunan bahan kimia. Untungnya, kami merespons dengan cepat. Ko bisa sih? Kamu inget ga, sebelumnya kamu makan atau minum apa gitu?" Dokter itu berusaha akrab dengan Alandra.

Alandra merenung sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Andla penasalan." Tidak mungkin Alandra akan menjawab dengan jujur.

"Penasaran sama rasanya?" Dokter itu mengangguk pelan. Ingin sekali ia menganggap tingkah Alandra itu wajar namun hatinya terasa ada yang mengganjal.

Alandra juga mengangguk pelan sebagai jawaban. Alandra ingin dokter itu segera pergi meninggalkannya.

Dokter itu menghela napasnya. "Yaudah, sekarang kamu udah tau rasanya kan? Dokter tebak, kamu pasti minum sabun cair, tapi dokter gatau sabun apa itu. Yang penting, kamu jangan lakuin lagi ya? Ga baik, pasti rasanya pait. Mending makan permen, rasanya manis. Nanti kalo kamu udah sembuh, dokter bakal kasih kamu permen yang enak. Oke."

Alandra memalingkan tatapannya dari dokter itu. Ia tidak ingin hatinya goyah melihat tatapan simpati yang diberikan dokter itu.

'Jangan gini Andra. Dokter tuh peduli karena dia dokter. Yaki Dokter jahat sama pasien, tar dia ga di gaji.'

"Semuanya udah bagus, kamu pinter ya. Ga nangis pas liat tangannya di infus." Dokter itu mengusap rambut Alandra yang tidak terkena perban.

'Bakal gue lepas kalo lo pergi. Makanya cepetan pergi.'

Alandra sudah merasa gemas karena ingin mencabut selang infus di tangannya. Selain kebas, ia juga tidak ingin infusan itu mengganggunya saat ia berencana melompat dari jendela ruangannya.

***

Rio dan Clarissa masuk ke dalam ruangan Alandra diikuti Varo dan Vero.

"Andra! Kamu baik-baik aja? Kepalanya sakit ga?" Vero menghampiri Alandra dengan mata berkaca-kaca. Ia memegang tangan Andra yang terbebas dari infus. Dibandingkan adik dan kakaknya, Vero yang paling cengeng.

"Vero jangan berisik, kasian Andra." Varo menggeser posisi Vero. Walaupun ia terlihat cuek, tatapannya menyiratkan bahwa ia khawatir pada adik keduanya.

Clarissa mendengus pelan. "Ko bisa kaya gini sih? Kamu pasti ceroboh kan? Bukannya mami dah bilang, kenapa kamu ga diem aja di deket kasir?"

'Diem doang sambil liatin kalian gitu? Udah dilakuin dulu. Kalo sekarang gabisa!'

"Andla diajak ke toko mainan cuma buat diem ya mi? Kenapa ngajak Andla? Mending Andla tidur." Alandra membalas perkataan ibunya dengan sedikit sinis, membuat Clarissa terdiam karena terkejut.

"Kamu ngelawan sama mami!?" Clarissa menatap Alandra dengan tatapan tidak percaya. Anak bungsunya yang pendiam, kini melawan perkataannya?

"Risa udah, kamu gausah debat sama Andra. Dia masih kecil." Rio menghentikan Clarissa yang bersiap mengoceh pada Alandra. Mengingat peristiwa sebelumnya, Rio semakin merasa bersalah pada putra bungsunya.

"Justru itu mas, karena Andra masih kecil. Dia harus di kasih tau. Biar ga jadi kebiasaan!" Risa memberi sedikit tekanan pada kata-kata terakhirnya.

Rio membuka mulutnya, ia tidak habis pikir dengan perkataan istrinya. "Risa, kamu manjain Varo sama Vero padahal mereka lebih gede daripada Andra. Terus kamu mah nyalahin Andra?"

"Aku ga manjain mereka! Aku juga ga nyalahin Andra. Aku cuma bilang, kenapa Andra ga diem aja di deket kasir!?" Risa membalas perkataan Rio dengan nada tinggi.

Alandra menutup kedua matanya, merasakan sedikit sakit kepala. Setelah beberapa saat, ia membuka mata lagi, hanya untuk menemukan tatapan yang berbeda-beda dari keluarganya yang sedang bersitegang.

"Belisik! Mami sama papi kalo mau libut dilual aja. Aku pusing." Alandra tiba-tiba berteriak. Matanya berkaca-kaca, bukan karena sakit tapi karena kekecewaan.

'Harusnya gue mati. Mami sama papi ga pernah ribut kaya gini di masa lalu.'

Rio, Clarissa, Varo, dan Vero terdiam. Mereka melihat Alandra yang terdiam di tempat tidurnya. Tidak ada yang bergerak, hanya suara monitor jantung Alandra yang terdengar di ruangan itu.

"Hah, udahlah. Aku pulang dulu, aku capek. Varo sama Vero ikut mami, kalian harus beresin barang-barang yang dibeli buat keperluan sekolah." Clarissa meninggalkan ruangan. Varo menatap adiknya sesaat lalu menyusul Clarissa.

"Tadinya kakak pengen nginep, tapi hari ini kamu sama papi dulu ya. Beberapa hari lagi kakak ada try out di sekolah lain. Cepet sembuh ya." Varo berpamitan lalu keluar dari ruangan Alandra.

Rio tidak mencegahnya, ia mendekati Alandra kemudian menatapnya dengan lekat. "Andra, maafin papi ya." Rio mengusap rambut Alandra. Putra bungsunya sudah mengalami banyak kemalangan dalam satu hari ini.

"Mending papi pulang. Andla belani sendilian ko. Andla juga kan seling ditinggal di lumah. Kalo disini ada doktel sama pelawat, jadi Andla ga takut-takut banget."

Rio memijat pangkal hidungnya, perkataan putra bungsunya benar-benar meresap ke dalam hatinya. Rio menengadahkan kepalanya, entah sejak kapan kedua matanya terasa perih. "Yaudah, papi tunggu di luar ya. Kalo kamu mau apa-apa, panggil papi ya." Rio mencium kening Alandra sebelum meninggalkan ruangan.

Setelah keluarganya pergi, Alandra terdiam dalam kesendirian. Perasaannya campur aduk, di satu sisi ingin tenang tapi di sisi lain terasa hampa. Dia menatap jendela dengan pandangan kosong, mencoba memproses semua yang terjadi.

'Papi...minta maaf?'

###

Depresot gara-gara auto keyboard, tiap bikin dialognya Andraಥ⁠‿⁠ಥ

Shit! I'm Back [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang