Vote dulu sebelum baca
###
Kembali ke masa lalu adalah sebuah hal yang benar-benar konyol bagi Alandra yang sudah tidak memiliki niat untuk melanjutkan hidup. Walaupun Alandra merasa tindakan ayahnya sedikit berbeda dengan tindakannya di masa lalu, Alandra tidak ingin menaruh harapan.
Alandra melepas masker oksigen yang bertengger di wajahnya. Ia juga melapas infus yang terpasang di tangannya. Alandra duduk tegak di tempat tidur rumah sakit. Ia memandang elektroda yang menempel di dadanya, merasa terganggu dengan peringatan terus-menerus yang mengisi keheningan ruangan. Dengan gerakan cepat, ia mencengkeram elektroda yang menempel di kulitnya kemudian menariknya dengan paksa, mengabaikan sensasi kecil yang tidak nyaman di kulitnya. Alandra juga mencabut kabel yang terhubung ke stopkontak, mematikan monitor.
Alandra melihat jendela yang menampilkan pemandangan yang disinari cahaya kuning kemerahan, Alandra meyakini bahwa hari sudah sore.
"Gue di lantai belapa ya? Tinggi ga sih?" Alandra turun dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju keluar. Awalnya, Alandra ingin melihat jendela untuk memastikan, namun karena jendelanya cukup tinggi dan Alandra tidak sampai, anak itu memutuskan untuk pergi keluar ruangan.
Alandra tersenyum sendu menyadari bahwa ayahnya tidak ada di luar ruangannya. Alandra memang meminta Rio untuk pulang, Alandra sudah memutuskan untuk tidak lagi berharap pada keluarganya. Tetap saja, mengetahui bahwa Rio benar-benar pergi, Alandra merasakan dadanya sesak.
Dengan langkah gontai, Alandra menyusuri koridor rumah sakit hingga ia tiba di taman yang cukup asri.
'Ternyata gue di rawat di lantai bawah ya? Untung tadi ga naek jendela terus loncat. Mati jaga, encok iya.'
Alandra duduk di sebuah bangku besi, matanya yang sayu itu kembali kembali menatap kosong.
'Kalo nabrakin diri depan RS, kasian pihak RS. Kalo loncat—' Alandra memperhatikan bangunan berwarna putih itu.
'Tinggi sih, tapi kalo naek tangga, capek. Kalo gue naek lift, susah juga. Soalnya tombol di lift pada tinggi.'
Alandra mengacak rambutnya frustrasi. Rasanya, setelah ia kembali ke masa lalu, tepatnya berada di tubuhnya saat ia berusia lima tahun, daya pikir Alandra ikut melambat.
'Lagian kenapa sih, di Indo ga ngebolehin eutanasia? Coba kalo boleh, gue bisa daftar sekarang.'
Alandra menyentuh kepalanya yang terlilit perban. Denyutannya mulai mengganggu Alandra. "Duh, malah pusing."
Alandra beranjak dari bangkunya, anak itu hampir terjatuh namun seseorang berhasil menahannya.
"Malem-malem gini ko kamu keluyuran, kamu ga nyasar?" ucap orang itu, suaranya penuh kekhawatiran sambil mengomel pelan. Namun, ketika Alandra menoleh ke arahnya, ekspresi orang itu berubah menjadi kaget. "Andra? Kamu kenapa di sini?"
"Abang Ley juga ngapain?" Alandra menatap Reyhan, kakak sepupunya yang masih memakai seragam putih abu-abu.
"Bocil cadel!? Lo ngapain disini? Abis kabur dari gue, ko ketabrak?" Alandra menoleh pada orang yang berada di samping kakak sepupunya, Alandra baru melihat name tag di pakaiannya. Orang itu bernama Dika.
Reyhan menatap Dika meminta penjelasan. "Ketabrak? maksud lo apa?"
"Andla ga ke tablak ko. Ini kebentul pas di toilet." Alandra memberi penjelasan sebelum Dika berbicara.
Reyhan menatap adik sepupunya dengan khawatir. "Ko bisa? Tangan kamu sampe berdarah gini, kita ke ruangan kamu ya?" Reyhan menggendong adik sepupunya.
Alandra menurut saat dirinya sudah berada dalam gendongan kakak sepupunya. Ia menyandarkan kepalanya pada dada Reyhan. Pusing yang sejak tadi ia rasakan membuat Alandra malas bersuara.
"Kamu disini sama siapa? Mami sama papi kamu gatau, kalo kamu keluar?"
Alandra menjawab dengan mata yang terpejam. "Tadi mami pulang, telus Andla minta papi buat kelual."
"Terus papi kamu keluar gitu aja? Iya?" Alandra dapat merasakan amarah Reyhan yang tertahan. Alandra mengangguk pelan.
"Nih bocil dibiarin sendirian gitu? Bokapnya keluar gitu aja pas diminta keluar!? Ko ada sih, orang tua yang gitu?" Dika berbicara dengan nada kesal.
'Ada ko, mami sama papi buktinya.'
Alandra membalas dalam batinnya. Tidak mungkin, ia mengatakannya secara langsung.
Percakapan terhenti setelah Dika menyatakan kekesalannya. Ketiganya melanjutkan perjalanan menuju ruangan yang ditempati Alandra. Di persimpangan koridor, ketiganya bertemu dengan Rio yang hendak memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Rio terlihat terkejut melihat keponakannya menggendong Andra. Belum lagi, peralatan medis yang sebelumnya menempel di tubuh putra bungsunya itu kini tiada.
"Andra, kamu ko disini? Kamu juga ngapain disini Rey?"
Amarah yang sebelumnya Reyhan tahan kini kembali meluap, Reyhan memeluk Alandra dengan erat lalu menatap om nya dengan tatapan marah.
"Om kalo ga niat jagain Andra, mending biarin Andra tinggal sama aku aja."
Rio terkejut mendengar perkataan Reyhan. Matanya melirik ke arah Alandra yang tertidur dalam gendongan Reyhan.
"Maksud kamu apa Rey? Om—"
Reyhan mengabaikan perkataan Rio ia memasuki ruangan Alandra lalu memanggil dokter untuk memasang kembali peralatan medis pada Alandra.
Setelah memastikan keadaan Alandra, Reyhan keluar dari ruangan diikuti Rio dan Dika.
"Rey sama Dika nemuin Andra di luar om. Tangannya berdarah karena infusnya copot. Om kemana sih? Om beneran keluar pas diminta keluar sama Andra? Rey ga habis pikir sama om."
Reyhan mengeluarkan unek-uneknya.
Rio terkejut mendengar perkataan keponakannya. Ia memang meninggalkan putranya namun itu bukan karena kemauannya. Saat ia berada di luar, rekan bisnisnya menelpon dan mengharuskan Rio mencari tempat sepi agar ia bisa berbicara dengan leluasa. Rio menghela napasnya, menyadari bahwa tindakannya salah.
"Maaf Rey, om—"
"Minta maaf sama Andra om, bukan sama Rey. Ah udahlah! Om pulang aja sana. Andra biar dijagain sama Rey."
Reyhan kembali memotong perkataan Rio, ia menarik lengan Dika lalu masuk kedalam ruangan Alandra.
"Benar-benar tuh orang! Dari dulu gapernah berubah, padahal salah siapa coba? Mereka yang bikin, masa Andra yang di salahin?" Reyhan menggerutu dengan suara pelan. Ia duduk di kursi yang berada di dekat tempat tidur Alandra. Tatapannya berubah sendu melihat adik sepupunya yang tertidur.
Tangan Reyhan menggenggam tangan kecil milik adik sepupunya. "Kamu pasti makan ati terus ya Ndra. Tangan kamu kurus gini, ga cuma tangan sih. Badan kamu juga kecil. Nanti kalo udah bangun, kamu tinggal sama kakak aja ya."
"Emang om lu bakal izinin, Rey? Tadi mukanya keliatan nyesel gitu loh."
"Mending lo diem deh!" Reyhan menatap Dika dengan tatapan kesal. Sudah sering ia meminta ayahnya untuk mengadopsi Alandra tapi ayahnya tidak mengabulkan permintaannya. Ayahnya sering mengatakan bahwa Rio tidak mengizinkannya.
Dika mengangguk pelan, mana ada orang tua yang mengatakan bahwa ia menyayangi anaknya tapi malah mengabaikannya.
###
Tiba-tiba kepikiran, gimana kalo aku pindah alam terus ngalamin nasib yg sama kaya Alandra...
KAMU SEDANG MEMBACA
Shit! I'm Back [END]
خيال (فانتازيا)#Story Regresi [Non Isekai] Katanya, jadi anak bungsu itu enak ya? Iya, enak. Keliatannya. *** Harusnya Alandra mati setelah bunuh diri, sayangnya Alandra malah kembali ke masa kecilnya. Sudah Andra putuskan, Andra harus mencari cara lain untuk mati...