06

33 13 1
                                    

Aksa memarkirkan motornya di garasi rumah. Bangunan besar yang di dominasi warna kelabu itu, berdiri kokoh di tengah-tengah kompleks. Pemuda itu segera melangkah untuk masuk. Aksa ingin segera mandi dan kemudian pergi ke markas karena yang lain sudah ada di sana. Rencananya nanti malam mereka akan ke sirkuit untuk balapan. Sudah lama mereka tidak mencoba skill balapan mereka. Banyaknya tugas sekolah menghambat kegiatan Adelaar beberapa Minggu ini. Jangan salah, berandal-berandal gini banyak anggota Adelaar yang berprestasi dan menjadi kebanggaan sekolah.


Tapi, Aksa berhenti melangkah ketika suara mobil dari gerbang memasuki runggunya. Aksa menoleh ke arah sana. Sebuah mobil sedan tua, memasuki pekarangan rumah. Aksa menghela nafas. Mungkin akan sulit untuk ia keluar malam ini.

Seorang pria berjas keluar dari sana. Di belakang, sopir pribadinya membawa satu koper besar. Aksa menghela nafas panjang. Aksa mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Meski batinnya ingin langsung mengabaikan, tapi ia masih tahu sopan santun. Pria itu---Bara---ayahnya. Mungkin pria setengah abad itu baru saja pulang dari luar negeri yang entah di mana tepatnya. Aksa bukannya tidak tahu, tapi ia benar-benar tidak mau tahu. Meskipun ayahnya adalah orang tua satu-satunya yang ia punya, tapi Aksa benar-benar tidak mau peduli lagi.

"Baru pulang? Habis ini siap-siap, kita makan malam di luar." Ujar Bara menepuk pundak sang putra

"Papa gak capek? Kenapa gak buat istirahat aja? Aksa juga ada urusan habis ini, maaf!"

Bara melepas kacamatanya. Ia tatap wajah putranya yang lama tidak ia lihat. Ini adalah kali pertama di bulan ini Bara bertemu dengan Aksa. Bukannya tidak tahu jika Aksa menolak hal itu karena Aksa malas mengobrol dengannya, Bara jelas tahu bahwa Aksa tidak mau berlama-lama dengannya.

"Enggak, papa sebenarnya sudah pulang seminggu yang lalu. Tapi---"

"Aksa tahu, gak usah di jelaskan!"

Aksa melangkah pergi. Bahkan ketika Bara pulang tujuan utamanya pulang bukanlah Aksa. Aksa bukan lagi Bara jadikan prioritas utama. Aksa mau marah, tapi ia terlalu malas untuk berdebat dengan Bara. Aksa sudah cukup muak dengan semuanya.

"Aksa, papa gak mau tahu. Nanti malam kamu ikut papa. Hanya sebentar, nak. Setelah itu, silahkan pergi kemana kamu mau!?"

Aksa menarik nafasnya dalam-dalam. Aksa tidak bodoh untuk tahu kemana Bara akan mengajaknya pergi. Apalagi dengan paksaan seperti ini. Bukan sekali dua kali ini terjadi.

"Pa, jangan paksa Aksa, tolong!" Mohonnya lirih

Bara menghela nafas, "Papa juga mohon untuk hari ini aja, Aksa. Apa kamu gak mau mencoba dekat dengan mama---"

"Aksa capek, mau istirahat." Aksa segera pergi dari hadapan Bara. Aksa muak

"Aksa ... Aksa papa gak mau tahu ya, nanti malam kamu harus ikut!?"

Aksa mengabaikan teriakan Bara. Ia terus berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Aksa cukup kecewa. Aksa tidak peduli apa yang ingin Bara lakukan, tapi satu pintanya jangan libatkan Aksa dalam kegiatan itu. Jangan paksa Aksa menuruti semua kemauan Bara. Dengan Bara yang tidak lagi menjadikannya prioritas atau bahkan tidak lagi menganggap kehadirannya penting, Aksa kecewa dengan itu. Wajar saja jika Aksa tidak lagi peduli.

"Mama Aksa cuma satu dan akan selalu begitu. Mama Aksa cuma, mama Aura gak akan ada yang lain!" Gumamnya setelah menutup pintu

Tubuh Aksa merosot ke bawah. Ia sandarkan badannya yang lelah ke pintu putih itu. Aksa menarik nafasnya dalam-dalam. Aksa pusing. Aksa rasanya ingin melarikan diri. Menjauh dari kehidupan Bara atau bahkan jika bisa Aksa ingin menghilang sekalian.

MELODY AKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang