1. Terlalu indah

308 26 18
                                    

---

"Karang, pulang! Udah sore, nanti Ayah marah!" Pekik seorang pemuda sembari memegang gagang sepeda.

"Iya nanti, Kak. langit terlalu indah buat dilewatkan!" Balas gadis yang disebut Karang itu, ia mengabaikan permintaan Kakaknya dan tetap duduk dihamparan pasir pantai.

Kakaknya hanya menghembuskan napas pasrah, mau sekeras apapun ia meminta adiknya untuk pulang, Karang lebih mencintai langit dari pada dirinya sendiri.

"langit gak akan pergi, Karang! Ayo pulang!" Paksanya lagi sembari menaruh sepedanya asal dan berjalan menuju adiknya.

"Langit memang gak akan pergi, tapi Karang yang bakalan pergi. Jadi, biarkan Karang puas bermain dulu. Kalau Kak Aman mau pulang, ya pulang saja sendiri." Gadis itu mengabaikan keberadaan sang Kakak yang sudah duduk disampingnya.

"keras kepala!" Ucap sang Kakak sembari mencubit pipi tembab adiknya. "Yasudah, kita tunggu sampai mataharinya sedikit tenggelam saja, ya?"

Akhirnya sang Kakak mendapat anggukan setuju dari adiknya. Setidaknya untuk saat ini, biarkan mereka tersenyum memandang langit juga lautan yang indah.


























































































































































Suasana rumah begitu hening, membuat acara makan malam pun rasanya jadi menegangkan bagi kedua anak yang baru saja bersenang senang dengan angin juga air pantai.

BRAK!

"Uugh, kaget Aman.." Gumam pemuda berusia lima belas tahun itu sembari mengelus dada.

"Ayah kenapa?" Tanya wanita yang kedua anak itu sebut dengan panggilan 'Ibu'. Ibu menyadari suasana makan malam memang sedikit berbeda, suaminya itu menunjukkan ekspresi yang tak mengenakkan untuk dipandang.

"SULAIMAN, KARANG!" Bentak Ayah disela makan kedua anaknya.

"I-iya Ayah?" Keduanya ketakutan. Sisi Emosional sang Ayah belakangan ini sangat buruk, mudah sekali meluap-luap, bahkan dengan kesalahan kecil sekalipun.

"AYAH SUDAH BERAPA KALI BILANG SAMA KALIAN, KALAU KALIAN HARUS PULANG SEBELUM JAM LIMA SORE!?"

Semuanya diam, tak berani angkat bicara. Takut kalau-kalau amarah sang Ayah justru semakin meluap dan terjadi hal-hal yang tak dinginkan.

Tangan besar itu bergerak menuju punggung mungil anak perempuannya yang tengah menunduk, bergerak seolah ingin mendaratkan sebuah pukulan yang cukup keras untuk anak seukuran anak itu.

"Jangan, Ayah! Jangan pukul Karang!" Anak lelakinya justru mencegah tindakannya, berlari dari tempat duduknya dan mendekat kepada sang adik dan mendekap tubuh bergetar itu kuat.

"Jangan pukul Karang, kalau Ayah marah sama Karang, pukul Aman saja." Ucap Aman dengan suara yang bergetar hebat, ia tak pernah menyesal dengan ucapannya kala membela adiknya.

"Berani sekali kamu melawan orang tua, Aman! Yang membuat kalian telat pulang pasti karena Karang yang asik bermain, kan!? Ayah tau semuanya! Anak seperti Karang harus didisiplinkan sejak sekarang!" Ayah mendorong tubuh Aman kasar. Melepas pelukan Aman yang berusaha melindungi Karang.

"Jangan Ayah!" Aman mencengkarm tangan besar Ayahnya kuat, berusaha menghentikan aksi sang Ayah yang akan menyakiti punggung adiknya.

BUGH!!

Satu pukulan mengenai rahang Aman, membuat sang empu meringis nyeri, tak terasa air matanya ikut turun bersamaan dengan nyeri yang menyarang di area rahangnya.

"INI YANG KAMU MAU, KAN!? LINDUNGI SAJA TERUS ADIKMU ITU, SAMPAI NANTI DIA TUMBUH JADI MANUSIA LEMAH DAN MANJA!" Sang Ayah kembali memukulinya.

Aman meringkuk menahan sakit disekujur tubuhnya, Ayah tak henti-hentinya memukul juga menendang tubuhnya tanpa ampun. Emosi Ayah begitu memuncak malam ini.

Sampai akhirnya sang Ayah pergi, meninggalkan rumah juga istri dan anak-anaknya dengan emosi yang masih meluap. Aman segera berlari dari ruang makan menuju halaman belakang rumah.

Aman memuntahkan isi perutnya, tak banyak, Aman tidak sempat makan banyak sebelumnya, Ayah terlanjur marah.

"Kak Aman, gak papa?" Suara bergetar Karang menyentuh indra pendengarannya. Aman tersenyum saat mendapati sang adik hampir menangis disampingnya.

"Ini salah Karang, kenapa Kak Aman yang dipukul!? Harusnya tadi, biarin Ayah pukul Karang! Kak Aman jangan bela Karang, Kak Aman jadi sakit, kan!" Emosi karang juga meledak, ia tak suka kalau Kakaknya Aman, membelanya dan berujung terluka. Karang merasa bersalah dan sangat pengecut.

"Biarkan begini, Kakak gak suka kalau Karang kesakitan." Aman mengacungkan ibu jarinya juga mengedipkan satu matanya. Namun tak lama, Aman meringis, kala merasakan nyeri kembali menyambar ujung bibirnya yang sedikit robek.

"Sshh.." Desisnya nyeri. "Sudah, Karang pergi tidur saja, Kakak masih mau diluar. Lagi pula, Ayah gak akan pulang malam ini." Tangan Aman bergerak maju mundur seolah meminta Karang untuk masuk kedalam rumah.

Tapi Karang mengartikanyya berbeda, Karang merasa diusir oleh sang Kakak.

"Karang mau disini aja, sama Kak Aman. Langit malam ini juga bagus, sayang kalau dilewatkan."

Karang memeluk erat tubuh sang Kakak, mengabaikan Kakanya bergerak tak nyaman dan mencoba melepasnya.

"Jangan peluk-peluk, geli!" Aman melepas pelukan Karang pada dirinya asal, membuat Karang sedikit terhuyung kebelakang. "Manusia kertas kayak kamu jangan berani peluk-peluk manusia baja kayak Kakak. Kamu di senggol dikit aja loyo!" Itu ejekan yang sering Aman ucapkan.

"Aduh, sori aja nih yak, tadi siapa ya, yang peluk-peluk Karang?" Karang tersenyum jahil saat mendapati mimik wajah Aman berubah kesal.

"Karang sayang Kak Aman! Pokoknya, kalau nanti Kak aman udah besar, jangan lupain Karang!" Karang kembali memeluk tubuh Aman lebih erat dari sebelumnya.

"Memang siapa yang bisa buat Kakak ngelupain Karang?" Goda Aman pada sang adik.

"Ada aja, siapa tau nanti Kak Aman kalau udah nikah jadi lebih cinta istrinya dari pada Karang." Karang mengerucutkan bibirnya.

Aman ngelus asal pucuk kepala sang adik yang dibalut kain kerudung putih. "Ih! Nanti rambut Karang keliatan! Dosa-dosa!" Karang melepaskan pelukannya dan membenarkan kerudungnya yang miring akibat ulah sang Kakak.

"Kasih sayang Kakak ke kamu gak akan berubah, sayangnya kakak ke kamu dan ke calon istri Kakak dimasa depan nanti tentunya beda." Aman tersenyum memandang langit.

"Betewe, emng ada yang mau sama Kak Aman?"

"KARANG! JANGAN GANGGU ME TIME KAKAK, AH!" Aman mendorong adiknya untuk masuk kedalam rumah.






















































































































































































































Aku gak akan buat part ini sama kayak cerita sebelumnya, yang biasanya seribu duaratusan kata, sekarang aku cuman mau buat delapan sampai sembilan ratus kata aja, semuga kalian tetep suka ya!!

Vote kamu sangat berarti untuk kami

Karang & HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang