---
N
b: Part 16 HILAANG aku gak tau kenapa, tapi serius gak ada di draft, jadi maaf kali scan satu chp itu hilang ya, Mine!
Beberapa bulan ini Aman tak bisa menghubungi Karang, karena Ayah akan terus memarahinya kadang Ayah berani main tangan bila Aman tak menurut.
Aman lebih sering mengirim barang pada Karang, tak lupa Ibu selalu mengelipkan surat diantara barang-barang yang dikirimkan Aman.
Hari ini tak mengirim barang, karena Aman harus bekerja. Aman masih belum terbiasa tanpa Karang. Tanpa kabar Karang.
Sebelum bekerja, Aman memutuskan untuk menelepon adik tercintanya itu. Rasa rindu terhadap suara berisik adiknya tak tertahankan. Aman benar-benar rindu.
"Halo, Ra?" Aman memulai panggilan suara.
"KAK AMAN! KENAPA GAK TELEPON KARANG, SIH? KARANG TERLUPAKAN, YA? KUBURAN NARA JANGAN DILUPAIN, KAK. DI RAWAT!" Karang memekik kencang kala mendapati panggilan suara dari sang Kakak. Ia senang.
Perihal Nara, kucing itu sudah meninggal sejak Karang pertama kali duduk dibangku SMA.
"Iya, gak akan lupa," Aman menghela napasnya pelan, suara Karang terlalu mengejutkan, sampai-sampai ia menjauhkan telepon genggamnya dari elinga. "Maaf ya, Kakak gak telepon kamu. Ayah marah kalo Kakak ketahuan mau telepon kamu. Ini Kakak di tempat kerja, jadi gak ada Ayah."
"Kabar kamu gimana, Ra? Gak ada yang bikin kamu gak fokus, kan?" Tanya Aman mengubah topik pembicaraan.
"Kabar Karang baik. Kabar Ibu sama Kak Aman yang gimana? Banyak yang bikin Karang gak fokus, yang pasti itu salah Kak Aman." Karang tertawa puas dari sebrang sana.
"Kok Kakak, sih!? paket dari Kakak dan Ibu minggu lalu udah sampe?" Aman balik bertanya.
"Udah." Karang terdiam, Aman juga ikuut terdiam. "Maaf Karang belum bisa pulang." Sambung Karang. ia ingat surat dari Ibunya. Yang berisikan permintaan agar dirinya pulang.
Ia masih harus bersabar sebentar lagi, agar Ayah bisa melihatnya, agar Ayah bisa mengakui dirinya.
Entah mengapa, tapi hati Aman sakit mendengarnya. Tak apa, biar ia saja yang tahu ini, Ibunya jangan.
"Kenapa belum bisa pulang?" Tanya Aman lagi.
Karang di sebrang sana terdiam seribu bahasa, ia bingung ingin menjawabnya seperti apa.
"Ayah gimana di sana, Kak?" Tanya Karang, melupakan pertanyaan sang Kakak.
"Oh, Ayah? Tumben." Aman tertawa renyah, Karang tau ini kali pertama diinya menanyai kabar sang Ayah. "Kalau malam suka pergi, Kakak gak tau kemana. Pulang-pulang kadang marah-marah, Kakak gak suka Ayah yang sekarang." Aman menghembuskan napas lelahnya.
"Emang pernah Ayah gak kayak gitu sebelumnya, ya?" Tanya Karang penasaran.
"Pernah! Dulu banget, sebelum kamu ada. Ayah itu udah kayak keren banget di mata Kakak, tapi semenjak Ayah pindah kerja, Ayah jadi nyebelin!" Aman begitu semangat menceritakan perubahan sang Ayah.
"Bukan karena Karang, kan?"
"Apa, Ra?" Aman pura-pura tak mendengar.
"Ayah berubah bukan karena Karang, kan?" Perjelas Karang.
"Gak lah!" Entah lah, mendengar pertanyaan seperti ini saja hatinya sudah sakit.
"Kalau nanti Kakak telepon kamu lagi, dan Kakak minta kamu pulang. Kamu mau pulang kan, Ra?"
Tak ada jawaban. Aman tau, Karang menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Tapi Aman tak berani bertanya, ia takut Karang lebih dulu menemukan kebahagiaan lain selain dirinya diluar sana.
"Sehat-sehat, ya di sana. Kalau gak bisa pulang gak papa, Kakak bakal tunggu kamu sampai lulus!" Aman tertawa seorang diri di sambungan telepon itu.
Karang diam.
"Surat Karang udah Kakak baca?" Tanya Karang ditengah tawa Aman yang mengudara.
"Hah? Kamu kirim surat?" Tanya Aman lagi. "Gak ada surat, Ra. Kamu bercanda sama Kakak?" Aman sungguh tak menerima surat apapun dari Karang. Di dalam kotak surat yang ada di dekat pohon mangga yang tak berbuah itu hanya ada tagihan listrik atau surat-surat pembayaran saja. Tak ada surat Karang.
"Buat apa Karang bercanda." Terdengar dari nadasuara Karang, gadis itu kesal. "Karang sering kirim surat ke Kakak dan Ibu, tapi surat balasan Kakak sama ibu gak ada yang nyambung sama surat Karang." Sambungnya lagi.
"Tapi buat apa juga Kakak bohong sama kamu. Kakak sering cek kotak surat, Kakak pikir kamu bakalan kirim surat kalau paket yang Kakak atau Ibu kirim udah sampe. Tapi gak ada surat dari Karang."
Keduanya kebingungan.
"Karang, udah dulu, ya? Kakak harus kerja." Aman meminta untuk menyudahi telepon mereka. Jam kerja sudah mendekati.
"Iya, semangat, Kak! Titip salam buat Ibu, Karang kangen Ibu, sehat-sehat semuanya!"
Panggilan berakhir.
***
"DUAR! KARANG LAUT!"
"ASTAGHFIRULLAH! AZA!" Karang mengelus dadanya terkejut. Harusnya ia sudah terbiasa tapi ia tak bisa terbiasa sama sekali. Kelas memang ramai, karena itu lah kehadiran Khanza tak Karang ketahui.
"Ehehe. Pagi, Ra!" Khanza menaruh tasnya diatas meja. Pagi ini mereka belajar dikelas yang sama.
"Pagi," Karang menarik napas pelan dan mengeluarkannya lagi. "BISA GAK SIH GAK USAH TERIAK-TERIAK?? INI MASIH PAGI YA, ZA!" Kesabaran Karang habis sudah di depan Khanza.
"Tau kok. Aza kan, kesel liat Ara ngelamun pagi-pagi. Nanti kalo Ara digangguin sama Hantu gimana? Kata Riki jangan suka ngelamun, nanti dimasukin hantu loh, Ra." Khanza sangat heboh pagi ini.
Karang mengedikkan bahunya acuh, ia tak percaya dengan hal-hal mistis seperti itu.
"Mikirin apa sih? Kok kayaknya serius banget, sini cerita sama Aza." Tawar Khanza berbaik hati.
"Gak ada. Banyak tugas aja. Oh iya, kerkom nanti aku bareng kamu, kan?"
Bohong. Jelas Karang sedang memikirkan suratnya yang tak pernah sampai pada orang-orang rumah.
"Iya, di kost Ara aja, ya? Kalo ditumah Aza ada Juan, Bang Sultan, Riki, Bang Deon. Nanti mereka gangguin kita lagi." Sekali-sekali Khanza ingin tau Kost tempat temannya ini tinggal.
"Boleh, jam empat langsung berangkat, ya."
"Siap 95!"
Kelas dimulai. Tak ada mahasiswa yang berisik, semuanya diam mendengarkan Dosen berbicara di dpan sana.
Haiii! sisa 2\3 lagi ya! Aku mau cepet selesaiin ini :) doakan aku selesai di Desemberf ya! Bersamaan dengan seluruh kegiatanku yang lain, eheheh..
Vote kamu sangat berarti untuk kami
KAMU SEDANG MEMBACA
Karang & Hujan
FanfictionBiar kukatakan sedikit tentang Karang. Dia Karang, yang begitu mencintai indahnya hamparan langit penuh awan juga bintang. Dia Karang, yang tawanya selalu terdengar walau langit sering kali membawakannya luka. Dia Karang, yang perginya saja langit...