15. Hilang

37 10 16
                                    

---

"Aman, harusnya Karang udah libur, kan? Liat teman-temannya sudah pada pulang ke rumah semua. Coba Ibu mau telepon Karang, Ibu kangen." Ibu menepuk bahu Aman yang tengah melamun di atas dipan bawah pohon mangga yang tak lagi berbuah.

"Semalem Aman udah coba telepon, tapi Karang gak angkat, apa Karang ketiduran, ya? Coba Aman telepon lagi." Aman mengambil handphone-nya yang berada di dalam kamarnya dan bergegas kembali ke luar untuk duduk bersama Ibunya.

"Aman coba sekarang, ya?" Setelah mendapat anggukan dari sang Ibu, Aman segera memulai panggilan suara.

"Halo, Ra? Kenapa telepon Kakak semalem gak kamu angkat? Kamu sakit?" Aman bertanya terus menerus, padahal Karang di sebrang sana belum menjawab satupun pertanyaan Kakaknya itu.

"Karang ketiduran." Karang membalas, namun kembali diam. Ia tak ingin banyak bicara, mood-nya sudah buruk sejak kemarin.

"Kamu sakit, Ra?" Aman kembali bertanya. Tapi Karang tak menjawabnya, alhasil hanya kesunyian yang Aman dengar dari handphone-nya itu.

"Kamu udah liburan semester, kan? Kenapa gak pulang? Masih banyak tugas kuliah?" Aman kembali bertanya. Aman benar-benar takut Karangnya lebih mencintai dunia luar dari pada dirinya. Ia takut Karang bertemu dengan hal-hal yang tak ia harapkan, ia takut Karangnya tak mau lagi menemuinya.

"Bawel banget, sih! Karang gak papa, Kak!" Karang menghembuskan napas lelahnya, "Maaf, Karang belum bisa pulang, Karang masih sibuk, banyak tugas." Lagi-lagi Aman bisa mendengar suara helaan napas Karang yang terdengar pasrah.

"Karang marah sama Kakak?" Aman takut. Ia mulai takut kehilangan Karang untuk kedua kalinya.

Ingatannya perputar kala pertama kali dirinya bermain lepas bersama Karang tengah hari. Padahal matahari saat itu terik sekali, mereka berdua justru asik bermain di lahan perkebunan luas dengan senyuman mengembang sempurna yang tak lepas dari wajah bahagia mereka.

Itu juga menjadi alasan mengapa mereka berdua tak boleh bermain melebihi jam lima sore.

Karang menghilang saat itu, pukul lima belas siang hari. Mereka berdua hanya bermain petak umpat bersama, Karang bersembunyi, dan Aman yang harus mencari.

Lebih dari perkiraan Aman, Karang sangat mahir bersembunyi. Kemana adik kecilnya pergi? Aman bahkan masih sibuk mencari saat itu. Awalnya memang mencari dengan semangat dan penuh tawa, lama-kelamaan, Aman mulai khawatir, ia bahkan tak bisa menemukan adiknya dimanapun, diseluruh perkebunan itu selama kurang lebih dua jam lamanya.

Sampai akhirnya Ibu menjemput Aman untuk pulang, tapi aman menolak dengan keras dan mengatakan bahwa Karang hilang saat sedang bermain bersamanya. Ibu ikut mencari, dibantu beberapa warga sekitar perkebunan.

Karang tetap tidak ditemukan, sampai hari mulai berganti malam. Aman tetap tak ingin pergi dari perkebunan sampai Karangnya ditemukan dengan selamat.

Ibu sama khawatirnya dengan Aman, tapi mau bagai manapun, mereka tetap harus pulang, warga sekitar perkebunan juga sudah mengatakan bahwa tidak menemukan apapun. Karang tidak ada di sana.

Dengan berat hati Aman menuntun kakinya untuk melangkah meninggalkan perkebunan, rasa khawatirnya semakin menjadi kala sampai di rumah, berharap Karangnya sudah menunggunya disana dan menertawai dirinya yang tak dapat menemukan Karang. Tapi, Karang bahkan tak ada di sana.

Ayah marah kala tahu Aman pulang saat hampir gelap, Ayahnya pikir Aman terlalu asik bermain sampai lupa waktu, Ayah bahkan tak peduli dimana Karang saat itu.

Saat tahu Karang menghilang, Ayah semakin marah, bukan karena Aman tak becus menjaga adiknya. Tapi karena Karang seolah sengaja mempermalukan nama Ayahnya di depan penduduk perkebunan.

Sekitar pukul enam sore, pintu rumah terdengar diketuk dari luar sana, Aman dengan sigap membuka pintu itu, takut-takur teman-tema Ayahnya datang untuk mengajak Ayahnya pergi.

Dugaannya salah, yang mengetuk pintu itu justru gadis kecil dengan pipi tembab juga lesung pipi yang terlihat kala tersenyum, senyuman manis yang ia rindukan. Juga rambut hitam yang mirip seperti gelombang ombak lautan. Karangnya pulang.

Dengan pasir diseluruh kakinya, juga banyaknya kerang dalam genggaman tangan mungilnya. Aman ingin marah, tapi ia tak tega. memeluk adalah caranya.

"Aman? Bisa Ibu pinjam sebentar? Ibu mau bicara sama putri Ibu." Ibu melepas lamunan panjang Aman. Aman segera menyerahkan handphone pada Ibu.

"Karang sayang? Udah makan? Ibu mau bicara sebentar.."

Saat mendengar suara Ibu, hati Karang bergetar hebat, ia merindukan suara itu, rasanya ia ingin pulang, tapi ia juga ingin mengalah pada Ayahnya. Ia ingin di akui sebagai putri Ayahnya. "Udah, Karang udah makan."

"Karang, Ibu kangen. kalau sudah ada waktu, kamu pulang ya, sayang? Selama kamu gak ada di rumah rasanya rumah jadi sepi, Ibu gak suka kalau rumah sepi." Ibu ngesupa ujung matanya yang mulai berkaca-kaca.

Aman mengelus pelan pundak Ibunya. Benar, rumah mereka tanpa Karang benar-benar terlihat sepi, anak yang biasanya banyak tingkah itu sudah pergi ke Ibu Kota, berusaha membanggakan Ibu juga Kakaknya.

"Iya, Karang pasti pulang."

"Jangan lupa jaga kesehatan, jangan makan mie terus, ga sehat. Hemat boleh, tapi jangan makan mie! Kalau ada baju kotor cepet dicuci, jangan ditumpuk, nanti kamu pusing sendiri! Jangan telat makan, nanti kamu sakit, Ibu gak mau kamu sakit di tempat orang! Kamu kan, kalo sakit nempelnya ya kalo gak sama Ibu ya sama Kakakmu. Disana mana ada Ibu dan Kak Aman. Baik-baik, cari teman yang banyak, belajar yang giat, yang terpenting jadi dokter buat Ibu di masa depan, ya! Ibu selalu berdoa yang terbaik buat Karang! Sudah ya, teleponnya Ibu kasihkan lagi ke Kakakmu."

"Iyaa Ibuku, sayangku, cintakuu!" Karang sedikit terkekeh mendapat petuah dari sang Ibu. Tak apa, itu mulai memperbaiki mood-nya yang sebelumnya buruk.

"Denger gak kata Ibu apa!? Jangan makan mie, jangan tumpuk baju kotor, jaga kesehatan, belajar yang bener, sukses! Simpel, tapi Kakak gak yakin, hahaha.." Aman tergelak cukup kencang, ia hanya bercanda, Karang tau itu.

"Liat aja nanti! Karang pulang-pulang pakai almamater keren!"  Tak mau kalah, Karang mulai menyombungkan dieinya disambungan telepon.

"Kakak anggap itu janji, suatu hari nanti bakal Kakak tagih janji almamater kamu itu, Ra!"

"Siap Kak Aman! Kalau berhasil beliin Karang mangga sekarung, ya!"

Sunyi, Aman tak membals, Karang bahkan mendengar handphone itu telah direbut paksa oleh orang lain.

"OH! SAYA LUPA BILANG INI JUGA! BERHENTI BERINTERAKSI DENGAN ANAK DAN ISTRI SAYA MULAI SEKARANG! CUKUP JANGAN JADI PENGGANGGU SAYA! BERHENTI TELEPON NOMOR INI LAGI! ATAU SAYA PERLU BLOKR NOMOR KAMU!?"

"Ayah!" Aman dan Ibu berteriak tak terima dari sebrang sana.

Karang kembali mengalah, ia menutup panggilan suara itu secara sepihak.








































































Haii, aku up lagi! Rasanya harus ngebut, tapi tetep harus ngefeel gitu ^^ Jadi rada susah. Tapi apapun yang terjadi, kalyan tetep harus dukung aku ditengah sakitnya badan juga telinga ini ^^

Vote kamu sangat berarti untuk kami

Karang & HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang