---
Sesuai perkataannya, Karang benar-benar akan pulang, tak lagi menunda-nunda. Meski ia marah sekaligus takut dengan sang Ayah, kali ini ia akan menghadapi Ayah seberani dirinya saat kecil. Memang Ayah pantas mendapatkan itu.
Selepas menutup panggilan suara, Karang dengan cepat mengambil koper diujung ruangan dan membukanya, banyak debu. Karena hanya dirinya yang tak pulang disaaat penghuni kostan lain pulang.
beberapa kali Karang bersin, ia tak bisa berlama-lama dengan debu. Dengan sigap, Wulan mengambil alih koper itu dan membersihkannya, Wulan menyuruh Karang untuk menyiapkan saja barang-barang yang akan di bawa. Wulan tau gerak-gerik sahabatnya satu ini, pasti Karang ingin pulang mendadak. Sisi keingin tahuan Wulan ia kesampingkan sejenak, ia ingin Karang sendiri yang menjelaskan bila Karang sudah senggang.
"Kalau tau lo alergi debu, harusnya bilang ke gue. Gunanya gue di hidup lo apaan, Ra?" Wulan mengomel disela membersihkan koper.
"Maaf. Aku buru-buru, Lan." Karang menggaruk tengkuya yang tak gatal. Sungguh ia seperti orang ling-lung saat ini.
Tak ada balasan dari Wulan, Karang juga kembali sibuk memilih barang-barang. Tak banyak, hanya baju seadanya juga foto, buku-buku yang akan ia bawa. Tak lupa, surat pemberian Ibunya. Yang satu itu tak ia maaasukkan kedalam koper, hanya ia simpan di saku gamisnya.
"Nih, kopernya. Hati-hati di jalan. Nanti biar gue aja yang ijinin lo buat ga masuk kuliah." Wulan menepuk bahu Karang, seolah ingin berpisah sangat lama.
"Gak lama kok, Lan. Aku cuman mau ketemu Ibu, ada yang mau Ibu omongin." Karang tersenyum lebar Wulan mananggapinya dengan kekehan kecil.
"Do'ain Ibuku ya, Lan. Ibu sakit, semoga cepet sembuh." Karang mulai memasukkan pakaiannya kedalam koper. Hatinya tak henti-henti memikirkan sang Ibu yang berada jauh di sebrang pulau sana.
"Iya, pasti dong. Kalau urusan lo udah selesai, kabarin gue!" Wulan mencubit pipi sahabatnya ini. Walau sudah menginjak usia sembilan belas tahun, Karang benar-benar masih memiliki pipi yang tembab. Itu akan menjadi favorit semua orang.
"Berhenti cubit pipiku, Lan. Sakit!" Karang mengelus pipinya yang sebelumnya dicubit Wulan. Wulan justru tertawa lepas, entah apa yang lucu di sana.
"Aku berangkat sekarang, dari pelabuhan baru magrib nanti aku berangkat. Kamu baik-baik di sini, jagain barang-barangku! Awas waktu aku pulang ada yang lecet sedikit!" Karang mengomel sembari menutup koper bawaannya.
Karang pergi seorang diri siang itu, untunglah ia mengingat rute perjalanannya. Ia menaiki bus antar pulau. Penuh? Tak masalah asal ia bisa pulang.
Selama di dalam bus, pikiran Karang tak lepas dari Ibu juga Kakaknya. Senyumannya sejak awal keberangkatan tak luntur dari paras cantiknya. Tangannya mengambil selembar kertas yang sengaja ia selipkan di saku gamis birunya. Surat dari Ibu yang paling ia suka.
Rasa rindunya benar-benar meluap-luap. Senyumannya ia tunjukkan sebagai pelampiasan rasa bahagia akan kepulangannya.
Membayangkan bagaimana reaksi orang-orang di sebrang sana saja sudah membuat hatinya berdebar-debar tak karuan. Bagaimana reaksi kakaknya saat bertemu dirinya lagi setelah setahun tak saling menatap wajah? Bagaimana reaksi Ibu saat melihat kepulangan putri kecilnya pulang? Atau reaksi Harun yang pernah mengusirnya? Atau bahkan seberapa marah Ayahnya saat menemukan dirinya tersenyum diambang pagar dekat pohon mangga tak berbuah?
"Ah, pasti seru!" Karang berseru menatap jendela bus.
Bus yang ia tumpangi mulai naik dan masuk ke dalam kapal. Semua penumpang turun dan mulai berhamburan diatas kapal. Langit mulai menampakkan warna jingga yang mempesona, Karang memegang pagar pembatas, dibawah sana lautan yang tenang. Gerak kapal membuat riak air laut, meninggalkan jejak gelembung putih yang cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karang & Hujan
FanfictionBiar kukatakan sedikit tentang Karang. Dia Karang, yang begitu mencintai indahnya hamparan langit penuh awan juga bintang. Dia Karang, yang tawanya selalu terdengar walau langit sering kali membawakannya luka. Dia Karang, yang perginya saja langit...