---
Langkah kaki Karang terlihat lemas, saat sampai rumah pun, ia tak fokus pada jalan dan hampir tertabrak pohon mangga yang tak lagi berbuah dipekarangan rumahnya.
"DIMANA KARANG!?" Sedikit terkejut. Karang mengenal suara itu. Suara Ayah. Dengan perasaan campur aduk, Karang melangkahkan kakinya memasuki rumah yang segera disambut sang Ayah dengan tatapan tajamnya.
PLAK!
Sunyi. Tatapan Ayah pada Karang semakin tajam. Karang yang awalnya menunduk kini balas menatap sang Ayah.
"SUDAH BERAPA KALI AYAH BILANG, JANGAN PULANG LEWAT DARI JAM LIMA."
Bentakan tak lagi dibalas dengan bentakan. Karang mengerti, dirinya yang salah. Ia juga menyesal, mengapa ia harus pergi ke pantai itu lagi, kalau ujungnya hanya mendengar ucapan yang tak ada artinya.
"Kemana?" Gumam Karang yang kembali menunduk. "Selama ini Ayah kemana?" Tanyanya lebih jelas.
"BUKAN URUSANMU!" Ayah mengusap wajahnya dan berbalik membelakangi putrinya.
"Kenapa Ayah gak bisa hidup bareng Karang!?" Tanya Karang lebih lantang. "Kenapa Ayah benci Karang, Yah!? Salah Karang apa!?" Pertanyaan bertubi-tubi dari Karang membuat amarah Ayah kembali memuncak.
Ibu mengelus pundak Ayah agar sedikit tenang, berharap tak ada yang bertengkar setelah kepulangan suaminya itu.
Karang menatap Ayahnya, menuntut jawaban. Aman sadar akan sesuatu, mata adiknya itu mulai bekarca-kaca. Pipi tembabnya bergetar berusaha memberikan senyuman terbaiknya.
"Karang.." Aman berjalan sedikit lebih cepat, ia ingin memeluk adiknya.
Ini pasti sangat sulit untuk Karang. Melupakan luka juga mengubur pertanyaan yang mengganggu hidupnya. Sore ini Ayah kembali datang setelah bertahun-tahun menghilang tak ada kabar.
"Berhanti, Kak. Karang mau Ayah yang jawab." Karang memaksa senyumannya hadir ditengah suasana tegang ini. Aman berhenti, memberikan ruang untuk adik juga Ayahnya.
"Jawab, Yah.." Lirih Karang masih setia memandang punggung sang Ayah. "AYAH JAWAB KARANG! KENAPA? KENAPA AYAH BENCI, KENAPA AYAH GA BISA HIDUP SAMA KARANG!? SALAH KARANG APA?"
"Karena kamu ada di keluarga ini. Saya benci kamu! Saya gak akan bisa hidup bareng kamu! Kamu tau? Setelah saya pergi malam itu, hudup saya tenang." Ayah tersenyum puas.
Bak disambar petir, hati Karang kembali terluka. Air mata yang ia bendung sekian lama kembali tumpah. Ia melanggar janjinya pada Harun sore ini.
Langit mulai berubah menjadi gelap. Diluar hujan turun. Apa kali ini ia ingin memberi kabar pada seluruh dunia dan khusunya Karang, bahwa ia datang untuk membawakannya luka.
"Karan gak pernah minta buat jadi anak Ayah. Karang gak pernah minta buat dilahirkan. Karang juga gak pernah minta buat ada di keluarga ini."
"Kalau ujungnya cuman begini, karang juga gak mau punya Ayah kayak Ayah!" Karang menarik tangan Ayahnya paksa.
"Kalau gitu kenapa Ayah pulang?" Karang kembali meminta jawaban. "KENAPA AYAH PULANG, KALAU AYAH SENDIRI BAHAGIA DILUAR SANA!?" Karang bertanya dangan nada tingginya. Habis sudah kesabarannya.
"Kamu bukan anak saya. Anak saya cuman Aman."
Karang diam. Semuanya pun diam tak ada yang angakat suara. Hanya suara hujan yang menyelimuti suasana malam ini.
"Saya cuman mau menemui anak dan istri saya. Bukan kamu." Sambung Ayah menatap mata hitam pekat Karang.
"A-apa?" Tanya Karang gugup sekaligus tak percaya.
"Ayah!" Aman dan Ibu berteriak tak terima. Bukan saatnya membahas ini. Karang tak berhak mengetahui kebenaran apapun saat ini. Karang hanya boleh tahu bahwa dirinya adalah adik Aman. Hanya adik Aman.
"Kak Aman? Ibu? Maksud Ayah apa?" Karang kembali bertanya, kini tak lagi ingin memaksa jawaban. Ia takut.
"Enggak Karang. Ayah bohong. Ayah cuman emosi, makanya Ayah bilang begitu." Ibu menghampiri putrinya, memeluk juga menciumi wajah putrinya.
"Iya. Ayah kan, selalu begitu. Lupain aja. Kamu tetep adik Kakak." Aman mengelus kepala adiknya lembut.
Berbeda dengan Aman juga Ibu. Ayah kembali menatap Karang tak suka. "Saya gak pernah menganggap kamu anak saya." Setelah mengucpkan kata itu, Ayah melenggang pergi meninggalkan ruangan itu.
***
Netra hitam pekat itu menatap langit malam. Aroma hujan belum benar-benar menghilang.
"Lagi apa? Yuk masuk, dingin loh, Ra." Ajak Aman dari ambang pintu.
"Masuk yuk, dingin.." Ajak Aman lembut. Ia tak ingin membahas soal Ayahnya, ia tahu ini tak perlu dibahas. Meski Karang akan memintanya untuk menjelaskan semuanya suatu hari nanti.
"Karang salah apa, Kak Aman? Kenapa Ayah bilang begitu? Ayah benci banget sama Karang? Atau Karang emang bukan adek Kakak, ya?"
Deja-Vu.
Itu yang keduanya rasakan saat ini. Mengingat kejadian beberapa tahun lalau, kala Ayah pergi meninggalkan rumah. Karang juga Aman
Greepp!!
Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, kini bukan selimut yang mendekap Karang, namun Aman ssendiri yang mendekap adiknya. Aman memeluk erat tubuh adiknya. Lupakan soal pertanyaan tak penting itu, saat ini yang terpenting hanya kebahagiaan Karang.
"Gak ada yang bisa benci sama Karang, dan gak ada yang boleh benci sama Karang." Aman menatap wajah adiknya lembut.
"Karena Karang itu istimewa."
"Dingin, gak?" Aman menerjang raga yang jauh lebih kecil darinya itu, entah berapa lama ia bisa melakukan ini bersama adiknya, tapi ia merasa sangat bahagia.
Tuhan, jangan buat semua ini berhenti.
"Enggak, karena ada Kakak. makasih, ya.. Kalau gak ada Kak Aman, mungkin Karang udah nyerah."
"Nyerah kenapa?" Tanya Aman heran.
"Nyerah buat semuanya.." Gumam Karang tanpa didengar Aman.
Suasana kembali sunyi, tak ada yang angkat bicara diantara keduanya. Sepuluh menit berlalu, Aman memutuskan angkat bicara.
"Kamu mau ke Jakarta?" Tanya Aman.
"Emang boleh?" Karang balik bertanya.
"Boleh, Kakak mau lihat seberapa kuat Karang tanpa Kakak. Anak yang biasanya loyo, apa-apa maunya bareng Kakak, sekarang pengen Kakak lepas ke dunia luar. Kakak ijinin kamu pergi ke Jakarta."
"SERIUS?"
"Iyaa.. baik-baik disana. Jangan lupain Kakak dan Ibu. Puas-puasin mainnya, inget rumah, Ra."
HAiii.. besok pinal kepter yak ^^
Vote kamu sangat berarti untuk kami
KAMU SEDANG MEMBACA
Karang & Hujan
FanficBiar kukatakan sedikit tentang Karang. Dia Karang, yang begitu mencintai indahnya hamparan langit penuh awan juga bintang. Dia Karang, yang tawanya selalu terdengar walau langit sering kali membawakannya luka. Dia Karang, yang perginya saja langit...