10. Terlanjur

27 8 10
                                    

---

"Ra!" Panggil pemuda tampan dengan postur badan tinggi. Membuat siapapun yang ingin bicara dengannya harus mengangkat kepalanya.

"Apa!?" Jawab Karang tak suka. Jujur, bukan tak suka, ia tahu apa yang ingin dibahas oleh pemuda itu.

"Sesuai perjanjian kita yang kemaren, lo harus nurut sama gue seumur hidup!" Pemuda itu menagih janji Karang padanya.

"Cancle emang ga bisa, ya? Run, aku ga bisa." Karang mulai bersiap dengan sepedanya, ingin manjauh dari pantai. Niat hati ingin bersenang-senang bersama langit juga birunya lautan, tapi pemuda ini justru mengganggu.

"Ga bisa, Ra! Gue gak mau!" Pemuda itu memegang salah satu sisi sepeda, membuat Karang hampir terjatuh, untunglah Karang segera turun dari sepedanya.

"Kenapa? Anggep angin lalu aja, aku gak mau jadi babu," Karang menatap pemuda tinggi itu kesal. "Permintaan kamu, terlalu gak masuk akal, Harun." Lanjutnya lagi.

"Gue gak akan banyak nyuruh, lo. Cuman tiga. Gue cuman mau lo dengerin omongan gue, karena gue.." Harun mengalihkan pandangannya kearah pepohonan besar yang menghiasi area sekitar pantai.

"Kamu apa?" Tanya Karang ketus.

"Gue mau keliatan keren didepan lo!" Harun menundukkan pandangannya, menemukan keindahan dalam mata hitam Karang.

"Kamu gak akan keren dengan cara itu." Karang balik menatap pemuda tinggi itu. Tatapannya bertemu. Seketika keduanya saling membuang pandangan kearah lain.

"Lo, lo cuman ga boleh nangis disituasi apapun, Ra! Itu peintah pertama gue!" Harun menarik lengan gamis Karang kearah pantai yang tengah memberi suguhan senja menawan favori Karang.

"Keuda. Lo gak boleh benci sama gue!" Harun menatap lautan, melepas genggamannya pada gamis gadis pemilik mata legam itu.

Wajah Karang memerah. Untuk apa Haris menyuruhnya seperti itu? Sungguh Karang tak habis pikir dengan pemuda tinggi itu.

"Lo sakit? Muka lo merah, Ra." Ucap Harun sedikit panik kala mendapati wajah Karang memerah.

"Enggak." Karang berjalan melewati Harun. Tak peduli dengan tatapan aneh apa yang akan diberikan Harun padanya, Karang terpesona dengan benda kecil yang terselip diantara pasir putih.

"Ketiga, Ra." Harun menjeda ucapannya, melirik sedikit kegiatan gadis di depannya itu.

Jari-jemari Karang sibuk membersihkan benda indah itu dari pasir. Senyumannya mengembang sempurna diiringi suara ombak yang menyapu bibir pantai.

"Kerangnya cantik. Besar. Tapi rusak." Gumam Karang yang tak sampai pada telinga Harun di belakangnya.

"Pergi dari hidup gue!"

"Apa?" Tanya Karang kala sudah bangkit dari posisinya dan berbalik menatap Harun. "Apa, Run?" Tanya Karang lagi penuh rasa tak enak. Dirinya tak tenang.

"Lo pura-pura tuli atau gimana, Ra!? Gue bilang," Sedikit tersendat, Harun memejamkan matany, menatap pasir tempatnya berpijak. "Pergi dari hidup gue!" Harun kembali melanjutkan ucapannya, menatap Karang dengan pasti.

Karang mengatupkan bibirnya, menatap tak percaya pada pemuda tinggi itu. Ia mencari sbuah kebohongan dalam tatapan Harun. Tak ada.

"Iya, oke. Sebelum kamu bilang begitupun, aku bukannya emang mau pergi? Kalau cuman mau ngomong kayak gini, seharusnya gak perlu berhentiin sepdaku, Run!" Karang berlari melewati pemuda itu, ia ingin menangis, tapi ada perintah yang sudah terikat janji. Diam. Itu yang bisa ia lakukan.

Sepanjang perjalannya menggayuh sepeda, pikirannya terus berputar layaknya radio rusak, mengulang ucapan Harun yang tertuju untuknya.

"Pergi dari hidup gue!"

"Pergi dari hidup gue!"

"Pergi dari hidup gue!"

Semakin memikirkannya, ia semakin kesal sekaligus sedih. Entahlah, mengapa Harun begitu tak menginginkan dirinya dalam hidupnya. Apa seorang Karang melakukan kesalahan?

Sesampainya di rumah, Karang tak langsung masuk menemui penghuni rumah. Ia memilih untuk duduk di teras tak ingin bertemu dengan siapapun.

"Kamu kenapa, Karang? Marahan sama Tiang listrik?" Tanya Aman sembari terkekeh kecil. Sudah menjadi hal wajar baginya kala mendapati adiknya bermuka masam saat kembali ke rumah.

Ia selalu hapal dengan jawaban dari adiknya itu, bertengkar dengan anak lelaki tinggi pemilik pohon mangga kesukaan Karang.

"Bukan," Karang tak menangis, ia benar-benar menepati janjinya pada Harun. "Tadi si Tiang listrik itu ganggu Karang mau pulang. Karang gak berantem." Karang mengepalkan tangannya.

"Eh, jatoh dimana kerangnya, ya!?" Karang bangkit dari duduknya memperhatikan tempatnya duduk juga kedua tangannya, membuat Aman keheranan.

"Kamu jatoh? Apa sih, Ra?" Tanya Aman masih mencerna ucapan adiknya.

"Tadi Karang nemu kerang di pantai, terus dibawa pulang, tapi kok gak ada?" Tanya Karang pada dirinya juga pada Aman.

"Biarin aja sih, nanti ambil lagi yang baru di pantai. Masih banyak yang lebih bagus." Aman menepuk pinggang adiknya meminta Karang untuk duduk kembali disampingnya.

"Seumur-umur, Karang baru pertama kali liat kerang sebagus itu, Kak. Karang gak mau yang lain, mau sebagus apapun kerang lainnya. Karang tetep suka yang itu." Karang pergi meninggalkan Aman di teras. Membiarkan Kakanya keheranan, sebenarnya apa yang diinginkan Karang? Kerang?

Atau yang lain?

***

"Bro, lo beneran mau pergi? Lo gak mau ambil beasiswa ke jakarta?" Tanya pemuda berambut lebat.

"Gak tau. Gue mau disini. Gue gak mau pulang. Tapi udah terlanjur, Ndra.." Jawab pemuda tinggi itu sembari menatap ke arah lautan. Hari mulai malam, pantai mulai sepi dan meninggalkan sunyi.

"Terlanjur apa?" Tanya pemuda berambut lebat itu lagi.

Diam. Tak ada yang angkat bicara. Disebrang sana, jauh dari kedua pemuda itu, seorang gadis mendengar semuanya termasuk kata, 'Gue mau disini. Gue gak mau pulang.'

Gadis itu pergi, mengingat hari semakin gelap, ia merasa ia harus segera pulang.

"Terlanjur apa sih, Run!?" Tanya pemuda berambut lebat itu lagi.

"Gue terlanjur marah, gue egois, gue ngusir Karang. Andra, kalo misal gue gak balik lagi kesini, tolong bilang ke Karang kalo gue gak bermaksud marah ataupun ngusir dia." Pemuda tinggi itu menggenggam kerang tak terlalu besar, cantik tapi rusak.

"Heh, lo pikir lo mau kemana? Baru aja lulus SMA gayanya udah kayak mau ditinggal mati." Andra memukul pelan kepala sahabatnya itu. "Kalo suka kenapa gak bilang?" Tanya Andra lagi.

"Suka? Gue? Gue suka sama siapa? Ngadi-ngadi lo!" Pemuda tinggi itu berbalik menatap temannya. "Maksud lo, gue suka sama Karang gitu? Idih najis." Pemuda tinggi itu memeluk dirinya sendiri.

"Lah, gue gak bilang lo suka sama Karang." Andra tersenyum puas. "Gue malah mikir lo suka sama pantai, soalnya belakangan ini lo sering main ke sini. Tumben-tumbenan kan, seorang Harun yang lebih suka motoran malah duduk-duduk jadi anak senja."

"Andra lo ga waras." Harun menatap tak suka pada sahabatnya.

"Lo kali!"



































































HEHHEHEH Udah ya, bentar lagi Karang bakal pisah sam Kak Aman dan Ibu, tapi sebelum itu.. aku bakal kasi konflik sedikit, tenang aj ini gak akan seberat konflik-konflik di ceritaku yang sebelumnya. Sehat selaluuu!!

Vote kamu sangat berarti untuk kami

Karang & HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang