---
"Diam kamu! Anak kamu ini memang pantas dihukum!"
***
Ayah mendorong Ibu sampai Ibu terjatuh, Aman segera membantu Ibunya itu untuk duduk. Aman tak menyukainya, bukan tak menyukai Ayah. Hanya saja, Aman tak menyukai kala Ayah melampiasakan amarahnya pada Karang.
Aman sangat tahu, Karang memang kekanak-kanakan, tapi itulah Karang. Itu cara Karang untuk dilihat dan diperhatikan.
Tanpa pikir panjang, tangan Ayah mengambil Teh panas didalam gelas yang Ibu siapkan untuk penutup makan malam.
"AYAH CUKUP! UDAH YAH, UDAAH!" Aman berteriak keras.
Ibu dan Aman begitu panik kala Ayah mulai mengambil ancang-ancang untuk melempar gelas itu kearah Karang.
Aman segera berlari dan melindungi Karang dalam dekapannya, Ibu juga segera mendorong Ayah untuk menjauh dari putrinya. Namun naas, gelas itu memang meleset dari Karang, namun mengenai kaki milik Aman.
Aman meringis menahan perih, ia benar-benar tak menyesal soal luka yang ia terima karena melindungi Adiknya.
Karang yang berada dalam dekapan Aman menangis, ia merasa bersalah karena membuat Kakaknya terluka. Ia tek bermaksud untuk melukai, sejak awal ia hanya ingin mempertahankan apa yang ia inginkan.
"Lindungi saja terus adikmu itu! Lihat, siapa yang sakit sekarang!?" Ayah mulai menjauh, menatap lamat-lamat kaki Aman yang mulai memarah karena air teh yang panas.
Tatapan mata Ayah ditatap balik oleh Karang, namun Ayag tak menyadarinya. Karang tak dapat mengartikan tatapan Ayah pada Kakaknya, itu bukan tatapan marah, kesal, jengkel dan benci, bukan tatapan yang biasa Karang terima dari sang Ayah.
"Karang, minta maaf dulu sama Ayah.." Lirih aman yang masih menahan perih. Karang menggeleng pelan, tatapannya tentu tak lepas dari sang Ayah.
"Kak Aman balik ke kamar aja, biar Karang yang beresin makan malem hari ini." Karang melepas pelukan sang Kakak, menepuk bahu Kakaknya pelan.
Aman pergi dari ruang tengah tempat mereka makan malam bersama, seharusnya makan malam hari ini tenang, tapi ada sedikit kesalahan.
Ibu pergi menenangkan amarah Ayah, jadi Karang benar-benar sendirian dalam membereskan bekas makan malam yang belum benar-benar selesai.
Setelahnya karang pergi menuju kamar Aman, Karang tak tega mengganggu Kakaknya, ia juga khawatir, jadi, Karang hanya duduk dipinggir kasur menatap Aman yang tengah duduk membaca buku dengan kaki yang ia luruskan.
Disela-sela asik membaca buku, terkadang Aman mendesisi perih, membuat Karang menatapnya sedih juga menyesal.
Netra Aman menangkap wajah sendu adiknya, Aman mendekatkan dirinya pada Karang sembari tersenyum menahan perih di kakinya yang sebelumnya terkena air teh panas.
"Jangan natep Karang begitu! Minggir sana!" Karang mendorong bahu Aman agar menjauh. "Apalah muka Kakak tuh! Nyebelin!" Karang memalingkan wajahnya dari tatapan Aman.
"Dek, sakit tau.." Aman meringis memeluk bantal yang ia ambil asal entah dari mana.
"Apanya?" Tanya Karang kembali menatap kaki Aman yang berwarna merah.
"Pake nanya! Kaki nih kaki!" Aman menunjuk kakinya sendiri, membuat Karang meringis menahan sesak. Karang benar-benar merasa bersalah.
"Sakit tau.."
"Hm." Karang kembali memalingkan wajahnya, ia tak mau ditatap seperti itu. Ia membenci tatapan Aman yang memelas.
"Tolong buatin adonan tepung dong, Adekku.. Seinget Kakak kalo lukanya dikasih adonan tepun nanti cepet sembuh."
"Gak."
"Tolong lah, Raa.." Aman kembali memelas, membuat Karang tetap bertahan dengan keputusannya.
"Jangan bilang begitu, Karang gak suka!" Karang kembali menatap Kakaknya.
"Apanya yang gak suka, hm?" Aman masih memeluk dan meremas bantal dalam dekapannya, agar rasa nyeri itu tersalurkan.
"Jangan pake nada itu. Gak suka! Nada Kak Aman kayak orang nyebelin!"
"Tolong lah, Raa.. Perih tau.." Aman kembali menatap adiknya, berharap adik kesayangannya itu ingin membuatkan permintaannya.
"Iya iya, bawel! Tapi bilang makasih ya?! Berbagai versi!" Karang bergegas pergi menuju dapur, berniat menyembuhkan kaki Kakaknya, dan juga agar tak lagi mendengar rintihan yang sangat mengganggunya. Itu benar-benar membuatnya semakin merasa bersalah.
Di dapur, karang sudah selesai dengan adonan tepung yang Aman minta, tapi ide jahilnya muncul entah mengapa.
"Kak Aman! Tepunya pakai garem sama micin, gak!?" Pekiknya dari dapur, untung Aman bisa mendengarnya.
"Ngapain pake garem, Ra!?" Aman bertanya balik.
"Biar lukanya gurih, biar kulit Kakak juga bersih, kan ada scrub nya dari garem!"
"TERSERAHMU AJA LAH, RA! HERAN KAKAK."
Setelah menunggu sebentar, Aman mendapati karang sudah membawa adonan tepung yang ia minta. Karang menyerahkannya pada Aman ia sedikit meringis kala melihat kaki sang Kakak yang memerah. Pasti perih.
"Tuh, mana makasihnya?" Ucap Karang yang sudah mengambil tempat disamping Aman dan menunggu Aman mengucapkan permintaannya.
"Ntar, kapan-kapan." Aman sibuk membalurkan adonan tepung pada lukanya.
"Karang mintanya sekarang!" Karang melipat kedua tangannya didada. "Cepet dong, Kak!" Jujur saja, Karang tak pernah meminta dipuji, kali ini, permintaan itu hanyalah alasan untuknya agar terlihat baik-baik saja.
"Ck, berisik!" Aman mendorong adiknya itu kesamping, membuat Karang terjatuh, untunglah mereka duduk diatas kasur. Karang sedikit kesal.
"Idih, gak tau berterima kasih!" Karang mulai mengambil jarak antara dirinya dan Aman. Karang benar-benar tak membutuhkan ucapan terimakasih dari Kakaknya itu.
"Oke-okee.. Terimakasih Karang bawel." Ucap Aman tak selera.
"Kan, Karang mintanya berbagai versi!"
"Arigatou, gomawo, syukron! Udah ya, kita imbang." Aman masih mengoleskan adonan tepung itu pada kakinya. Sedikit merasa lebih baik, pikirnya.
Sunyi setelahnya, Karang sibuk melamun, Aman masih memperhatikan lukanya yang sudah tertutupi adonan tepung.
"Lain kali jangan begitu." Gumam Karang.
"Hm?" Aman kebingungan dengan sikap adiknya.
"Jangan bela Karang terus. Liat siapa yang luka? Bener kata Ayah, gak usah lindungin Karang, nanti Kakak yang sakit." Karang tak berani menatap mata Kakaknya, ia memilih untuk menunduk.
"Ngelindungin kamu itu pilihan Kakak, kalau Kakak terluka ya, itu akibat pilihan Kakak sendiri. Bukan sepenuhnya salah Karang. Sampai kapan pun, kamu itu tetep adek Kak Aman, Kakak gak mau kamu sakit, apalagi karena Ayah. Mungkin nanti ya, Ra. Mungkin nanti kamu tau apa itu 'Ayah'."
HAYOUH, AKU CAPE, tapi untung ada moodbooster, yaitu Jie <3 Sumpah, aku liat video-video dia pas senyum sm salting bikin aku ikutan saltingg T__T.
udah dulu! Ayo vote dan dukung aku buat berkarya dan bertahan! Aku belum buat cerita tantang dia, krn gtw mau mulai dr mana :) (orng blom dimulai)
Vote kamu sangat berarti untuk kami
KAMU SEDANG MEMBACA
Karang & Hujan
FanfictionBiar kukatakan sedikit tentang Karang. Dia Karang, yang begitu mencintai indahnya hamparan langit penuh awan juga bintang. Dia Karang, yang tawanya selalu terdengar walau langit sering kali membawakannya luka. Dia Karang, yang perginya saja langit...