Tatapan itu

25 4 0
                                    


Saat di sekolah aku menjadi sering mencarinya, aku memperhatikannya, selalu menunggu apakah dia sudah datang atau belum. Setiap bertemu dengannya, dia selalu menatapku dan sesekali tersenyum kepadaku. Senyuman yang sangat tulus itu dilontarkan untukku, senyumnya yang penuh makna. Setiap aku ingin melihatnya, sesekali dia sudah lebih dulu melihat ke arahku. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi itu yang terjadi itu yang ada dipikiranku.

Suatu ketika, sekolahku mengadakan acara camping. Sama seperti camping namun kali ini hanya murid-murid saja, tetapi kami sudah mendapatkan ijin dari sekolah. Lagi pula acaranya di dekat salah satu keluarga temanku. Saat itu banyak sekali moment yang terjadi antara aku dengan dia. Mulai pada saat bermain games, memasak bersama, bahkan pergi bersama. Saat malam hari sekitar pukul 12 malam, kami semua berniat untuk pergi mencari tempat kopi terdekat, dan kebetulan pada saat itu motor dia lah yang kosong. Dan ya aku pergi bersamanya, awalnya memang sedikit canggung dan aku bingung apa yang harus aku bicarakan dengannya nanti ketika diperjalanan.

"Ayo naik." ucapnya yang menyadarkanku

"Oh iya sorry." aku hanya bisa bicara seperti itu

Aku mengira kita akan diam saja selama perjalanan, tapi aku salah. Dia selalu memulai obrolan dan selalu membuatku merasa nyaman. Hal-hal sepele yang dia katakan membuatku semakin kagum kepadanya. Saat itu memang aku duduk sedikit kebelakang, dan dia berkata "Aku ijin mundur ya." hal yang menurut orang lain sepele tetapi sangat luar biasa untuk ku. Yang aku pikirkan adalah betapa dia sangat menghormati seorang perempuan, apapun yang dia lakukan pasti akan meminta ijin terlebih dahulu.

Sepanjang perjalanan kita diisi dengan candaan dan obrolan-obrolan yang mengasikan. Hal-hal random yang dia lihat pasti dia bicarakan.

"Kamu kalo aku tinggalin disini gimana?" tanyanya.

"Gapapa, aku bisa tanya orang kemana arah pulangnya." jawabku

"Kan  ga ada orang jam segini."

"Ya aku tunggu sampai pagi, baru aku tanya ke orang sekitar."

"Kamu tidur dimana? Ya udah aku anterin kamu ke masjid deh, baru aku tinggal."

"Ya udah ayo cari masjidnya."

"Jangan deh, lebih baik kamu yang bawa motor, aku yang kamu tinggal. Tapi kamu ga boleh pakai maps dan ga boleh bawa handphone juga, gimana?"

"Oke deal. Ayo kamu turun sekarang, biar aku yang bawa motornya." Aku tersenyum sepanjang perjalanan, dia sangat lucu dan bisa membuatku tertawa.

Aku tidak pernah berani untuk memulai obrolan, tetapi pada saat itu aku bertanya kepada dia terlebih dulu. "Kamu suka pantai atau gunung?" Tidak tahu apa yang ada dipikiranku sampai-sampai aku berani bertanya itu. Aku merasa gugup stelah aku mengatakannya.

"Aku lebih suka pantai, lebih tepatnya aku suka bulan. Kalo kamu pantai atau gunung?"

"Aku juga lebih suka pantai." 

"Kenapa kamu lebih suka pantai?"

"Karena menurutku suara ombak itu menenangkan, aku sangat menyukai laut, hujan, apapun yang berbau air, karena menurutku itu menenangkan. Aku juga suka melihat matahari terbenam yang sangat indah ketika kita lihat di pantai."

"Sama sepertiku, aku bisa menyaksikan keindahan bulan ketika berada di pantai."

Sejak saat itu aku  menjadi penyuka bulan. Apapun aku kaitkan dengan bulan, agar aku bisa menarik perhatiannya.

"Tapi aku tidak suka cuaca panas ketika di pantai, aku suka pantai tetapi aku lebih suka cuaca ketika aku di gunung. Ya sudahlah aku pilih keduanya." Lanjutku agar mencairkan suasana dan obrolan kita tidak berhenti disitu saja. Dan dia tertawa mendengarnya.

Saat kami berbicang bercanda, aku selalu memperhatikannya melihat dia dari kaca motor. Ketika aku melihatnya dia pun melihatku, menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan itu tidak pernah berubah.

Melalui perjalanan yang cukup jauh, tetapi menurutku itu cukup singkat. Aku ingin menghabiskan waktu dengannya lebih lama. Kita sampai di sebuah tempat yang memang biasanya ramai dikunjungi anak-anak muda untuk bersantai. Dia tidak pernah jauh dariku, dia selalu di dekat ku, bahkan dia berjalan di belakangku. Aku tidak tahu itu hanya perasaanku saja atau memang begitu adanya. 

"Bajumu ada kantongnya ga?" dia tiba-tiba bertanya padaku.

"Ada kenapa?"

"Tolong pegang dompetku ya."

Aku merasa menjadi orang yang spesial untuknya, karna menurutku kita tidak bisa menitipkan barang berharga ke sembarang orang apalagi kepada lawan jenis. Teman-temanku hanya tersenyum dan meledekku ketika melihat kejadian itu.

Sepanjang malam aku memegang dompetnya, saat akan membeli sesuatu pun dia justru menyuruhku untuk mengambilkan uang didompetnya.

"Aku mau beli kopi, tolong ambil uangnya didompet." ucapnya

Aku merasa sedikit bingung karena itu. "Kamu aja dong yang ambil, masa aku sih."

"Gapapa, ambil aja didompet." katanya meyakinkanku.

Tapi aku tetap memberikan dompetnya kepadanya dan membiarkan dia mengambilnya sendiri. Setalah itu dia memberikan dompetnya lagi padaku. 

Sepanjang malam itu kita sesekali saling menatap. Meskipun dia mengobrol dengan teman-temannya tapi tak jarang dia melihat kearahku. Dia kembali duduk dibelakangku, aku sering memperhatikannya. Matanya yang bersinar seperti indahnya bulan malam itu membuatku semakin jatuh hati. Tatapan yang penuh makna itu membuatku semakin jatuh dipelukannya. Aku menyukai tatapan itu, aku menyukai semua yang ada padanya.

SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang