SECTION 11

90 5 0
                                    

HAPPY READING MANIEZZZ
Jangan lupa vote dulu sebelum baca!😘

.
.
.
.
.
.
.
.

《 17 September 》

Melbourne, 20.18

"Andrew!"

Kedua kelopak mata yang semula terpejam itu seketika terbuka. Mata merah dan sembab bekas menangis itu bergulir menatap langit-langit kamar dengan samar.

"Sss ... Argh!" Andrew meringis kesakitan saat mencoba menggerakkan tubuhnya. Ia menghela napasnya dan memejamkan matanya untuk sesaat, sembari menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya.

Tadi, ia harus menerima siksaan dari sang ayah yang sudah tidak dapat menahan emosinya. Ia hanya pasrah tanpa melakukan perlawanan. Beruntung Anindya segera menghentikan Alfred. Akibatnya, ia harus menanggung rasa sakit di sekujur tubuhnya. Kini, luka memar dan darah kering menghiasi sekujur tubuhnya.

"ANDREW!" panggil Anindya dari lantai bawah, kali ini lebih keras.

"Sss ... Ya!" Andrew berusaha untuk bangkit dan meraih kacamatanya yang ada di atas meja nakas. Kemudian, ia segera bergegas turun ke lantai bawah menuju dapur.

Ketika ia tiba di dapur, sebuah sendok sayur berbahan kayu melayang ke arahnya.

Tak!

"Akh!" erang Andrew kesakitan sambil mengusap-usap pundaknya.

"Aku memanggilmu sejak tadi, sialan!" sembur Anindya dengan emosi meluap-luap.

Andrew membetulkan posisi kacamatanya. "Ma-maafkan An ... An ketiduran," jawabnya dengan suara pelan.

"Kau ini sangat merepotkan!" Sambil menahan emosinya, Anindya berjalan mendekati pemuda itu dan menyodorkan sebuah kartu debit dengan kasar. "Belikan aku dua buah kotak telur ke supermarket. Ayahmu akan marah lagi jika makan malam belum siap. Cepat!" perintahnya.

"Tapi wajah—"

"Aku tidak peduli dengan wajah burukmu! Cepat, pergi!" perintah Anindya dengan nada tinggi.

Andrew mengangguk pelan. Ia berjalan menuju pintu rumah. Namun ketika ia melewati tangga, ia bertemu pandang dengan Alfred yang menatap ke arahnya dengan tatapan tajam.

Karena emosinya kembali meledak, Alfred berjalan mendekati Andrew sambil mengangkat tangannya. "Kau bocah sialan!"

"Alfred! Hentikan! Berapa kali aku sudah mengatakannya tadi, kontrol emosimu!" Anindya menahan tubuh sang suami. Ia menatap Andrew yang tampak ketakutan. "Pergilah!"

Anggukan cepat Andrew berikan. Ia pun segera berjalan keluar rumah.

Hari semakin gelap, beberapa kendaraan masih berlalu lalang di jalan depan rumahnya. Langkah kaki tergopoh-gopoh Andrew menyusuri trotoar sisi jalan sambil menahan nyeri. Sesekali ia akan berhenti untuk meredakan rasa sakit pada tubuhnya.

Tak terasa ia pun sampai di sebuah supermarket. Selama ia berkeliling, banyak mata tertuju ke arahnya dengan berbagai jenis tatapan. Hal itu membuatnya merasa tidak nyaman. Ia pun mengenakan kutuk jaketnya dan lebih banyak menundukkan kepalanya.

Drunk on Disputation [BXB] (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang