12

0 0 0
                                    

Evelyn memesan kamar di hotel itu.

"Selamat siang. Bisakah saya memesan 2 kamar dengan twin bed?"

"Maafkan saya, nona. Hanya tersisa 1 twin bed saja. Tetapi untuk double bed masih ada 3 kamar kosong."

Evelyn berpikir sejenak. "Kalau single bed?"

"Maaf, nona. Single bed sudah penuh semua."

Akhirnya Evelyn memilih kamar yang kosong saja. Dia menerima kartu akses lalu memasukkannya ke dalam tas.

Evelyn menuju restoran hotel untuk memesan makanan. Saat dia melihat-lihat bangku yang kosong, matanya menangkap seseorang yang tidak asing. Emma.

Evelyn menghampiri wanita itu. "Emma. Sedang apa kau di sini?"

Emma gelagapan. Di segera mengusap air matanya. Evelyn terkejut. Dia mendapati Emma menangis sendirian.

"Tidak apa-apa. Aku sedang ada tugas di Rumah Sakit dekat sini. Kau sendiri sedang apa? Apa kau bersama Frans?" Mata Emma merah. Dia berusaha menyembunyikannya.

Evelyn hanya diam. Dia terus menatap Emma dan mengusap bahu wanita itu.

"Jika kau ingin bercerita aku siap mendengarkan."

Emma mengangguk lalu beranjak meninggalkan Evelyn yang sangat mengkhawatirkannya. "Aku tinggal di kamar 26, lantai 2."

Evelyn mengangguk dia memandangi kepergian wanita itu. Emma berjalan menuju lift.

Evelyn setengah berlari menuju parkiran. Dia membangunkan Frans. "Frans, bangun!"

Laki-laki itu membuka matanya. Lalu bangkit dan duduk. "Emma, Frans, Emma."

"Ada apa dengan Emma?" Frans membetulkan posisi duduknya.

"Dia menangis. Aku bertemu dengannya di hotel. Apakah aku harus memberi tahu Dylan?"

"Jangan dulu! Cari tahu dulu apa yang terjadi." Frans berdiri lalu mengambil ponselnya. Dia menelepon seseorang.

"Aku sudah menyuruh orang untuk mencari tahu masalahnya. Kau tenang saja. Ayo, kita ke pantai!" Frans menarik tangan Evelyn.

Frans mencipratkan air ke arah Evelyn. Gadis itu berteriak lalu berlari mengejar Frans. Laki-laki itu berlari menjauh.

Setelah puas bermain di pantai, mereka bersama-sama berjalan menuju hotel.

"Ayolah, Evelyn kumohon! Aku ingin sekamar dengan Jeki."

"Kau gi-la? Aku saja tidak mau sekamar dengan Frans." Evelyn kesal mendengarkan permintaan sahabatnya itu. Seharusnya dia sekamar dengan Dinda dan Frans sekamar dengan Jeki.

"Mumpung aku bisa berduaan dengan Jeki. Kalau di kampus kan kami tidak bisa."

"Tunggu dulu, sejak kapan kau dekat dengan Jeki? Kalian kan suka berdebat. Dan lagi Jeki itu bukan tipemu."

Pipi Dinda memerah. Dia malu dan menjadi salah tingkah. Mungkin rasa itu tumbuh sejak kejadian menyelamatkan Evelyn kala itu, batin Dinda. Akhirnya dia mengabulkan permintaan sahabatnya itu.

Setelah selesai makan malam, Evelyn dan Frans menemui Emma dikamarnya.

Emma memaksakan tersenyum saat melihat Evelyn dan Frans berada di depan kamarnya. "Masuklah!"

"Kau masuklah! Aku akan berjaga di luar." Frans berdiri di samping pintu.

Evelyn memegang tangan Emma. Dia berharap Emma mau bercerita tentang masalahnya.

"Papaku dulu mempunyai ladang anggur yang luas. Bisa dibilang dia merupakan satu-satunya orang yang berhasil dalam mengembangkan dan mengolah anggur tersebut."

Emma menyeka air matanya. "Suatu ketika papa Dylan datang dan membeli anggur-anggur itu. Baik buahnya maupun wine yang sudah puluhan tahun yang dimiliki papaku. Kau tahu kan jika anggur yang tersimpan sangat lama harganya bisa sangat mahal."

"Saat itu aku masih duduk di bangku SMA dan belum kenal Dylan. Tuan Aryares memborong semua anggur milik papa. Dia membayar separuh dulu dan separuhnya lagi jika anggurnya sudah terjual semua. Dia bilang akan mengekspor anggur itu keluar negeri. Tapi sampai papaku meninggal, uang yang dijanjikannya tidak kunjung dibayar."

"Papa bangkrut, hutangnya ada dimana-mana. Waktu itu aku juga bekerja paruh waktu. Tapi tidak  bisa menutup hutang-hutang itu. Mama memilih pergi meninggalkan kami. Akhirnya papa jatuh sakit lalu meninggal."

Evelyn mengambilkan tisu untuk Emma. Matanya ikut berkaca-kaca.

"Aku bisa kuliah dengan beasiswa. Tidak sengaja aku bertemu Dylan saat sama-sama menjadi perwakilan kampus untuk pertukaran mahasiswa di London. Dylan sangat terkejut saat tahu aku adalah anak pemilik anggur yang dikhianati oleh papanya. Dia berjanji akan melunasi hutang-hutangku."

"Tapi Dylan bersamamu bukan karena kasihan kan?"

Dasar Evelyn selalu saja asal bicara. "Pada awalnya aku kira begitu. Tapi dia meyakinkanku jika cintanya benar-benar tulus. Dia sampai bertengkar hebat dengan papanya demi membelaku."

"Lalu apakah kau mencoba menemui Tuan Aryares?"

"Dulu aku menemuinya sampai tiga kali. Tapi tidak pernah bertemu. Penjaganya tidak pernah mengijinkanku masuk. Padahal aku hanya meminta penjelasan." Emma meremas tisunya.

Frans mulai bosan. Dia menguap berkali-kali. Dia bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Dia sudah memastikan jika hotel itu cukup aman. Ada lima orang yang berjaga.

=============================

Evelyn terkejut saat membuka kamar hotel dia mendapati Frans sedang berbaring di ranjangnya.

"Apa yang kau lakukan di kamarku, Frans? Dan bagaimana kau mempunyai kartu akses kamarku?" Evelyn menarik tangan Frans yang besar agar bangun.

"Kau yang memberikannya padaku sebelum makan malam tadi."

Evelyn ingat jika dia hanya memesan double bed karena kamar yang lain sudah penuh semua. Padahal dia dan Dinda yang seharusnya menempati kamar itu. Evelyn duduk di tepi ranjang. Kepalanya tiba-tiba merasa pusing.

"Apakah kau takut jika seranjang dengan ku?" Frans berbisik di telinga Evelyn, membuat tengkuknya merinding hebat.

"Tidak--!"

Kakek, Mengapa suamiku berbeda?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang