1

602 47 6
                                    

Desclaimer:
Pemeran yang kehadirannya tidak terlalu penting akan di tulis sebagai OC dan tulisan Italic yang dilakukan oleh pemeran dengan nama Eropa adalah dialog dalam bahasa ibu mereka.

Cast in this chapter:
• Mark: Hans
• Jeno: Hendrick
• Albert: Siwon
• OC: Joko
• OC: Hannah.

.

.

.

.

[ Yogyakarta; April 1965]

Asap kelabu pekat yang berasal dari cerobong kereta uap langsung mengepul memenuhi bagian peron 1 stasiun Tugu, Yogyakarta. Para penumpang yang merasa sudah tiba di tujuan mulai menenteng bawaan mereka untuk segera turun dari kereta yang sudah mengantar mereka dalam perjalanan yang panjang.

Dari dalam gerbong 4, seorang pemuda dengan pakaian formalnya berwarna hitam turun sambil membawa tas jinjingnya. Ia berjalan dengan tenang, menunjukkan wibawanya sebagai pria yang gagah sambil memasang wajah datarnya. Ia melihat ke arah jam tangan berwarna perak yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pukul 13:54, sudah lewat dari jam makan siang dan ia mengerti kenapa suasana hatinya terasa cukup buruk.

Kaki jenjangnya melangkah keluar bangunan stasiun menuju bagian pintu keluar. Ia melihat seorang pria pribumi sudah berdiri tak jauh darinya.

"Lama menunggu saya?" ujarnya bertanya dengan bahasa Indonesia yang fasih namun dialek khas orang Barat yang masih sangat kental.

"Belum terlalu lama, Tuan. Baru dua puluh menit." jawab si pria sambil tersenyum kemudian mengambil alih tas milik si pemuda berambut cokelat terang itu.

"Saya lapar, kita cari makan siang dulu. Kamu punya saran?"

"Tuan Hans suka pedas? Jika iya, bagaimana kalau kita makan siang dengan tongseng? Saya punya langganan yang rasa tongsengnya enak."

"Tongseng? Sepertinya enak."

Pemuda berdarah Belanda bernama Hans itu menyetujui usul dari supirnya. Mereka berjalan menuju mobil sambil berbincang dengan cukup akrab.

"Bagaimana kabar Kakek di rumah?" tanya Hans yang duduk di kursi penumpang.

"Beliau baik-baik saja, Tuan. Akhir-akhir ini, sepertinya Tuan besar juga tengah sangat berbangga pada Tuan Hendrick." jawab si supir.

"Oh, apa yang sudah di buat oleh anak itu?"

"Tuan Hendrick baru saja memenangkan kejuaraan memanah di Amsterdam, Tuan. Beliau juara pertama, dan itu semua adalah hasil didikan Tuan besar."

Hans hanya tersenyum sambil mengangguk. Memang Kakeknya adalah tipikal orang yang sedikit pilih kasih. Hendrick adalah sepupu yang seumuran dengannya. Anak itu tak terlalu cerdas di sekolah, tipe anak pembangkang juga saat masih duduk di bangku sekolah menengah, namun Hendrick memang memiliki jiwa bengis sebagaimana orang Belanda yang menjajah di masa lalu, dan Kakeknya adalah seorang veteran militer angkatan udara Belanda yang dulu ikut berperang. Jadi tak heran pria tua itu senang dengan Hendrick yang mewarisi kebengisan bangsa Eropa yang menjajah Indonesia di masa lalu.

Berbeda dengan Hendrick, Hans adalah sosok yang sangat baik dan ramah pada rakyat pribumi. Ia tak segan atau malu untuk duduk bersama mereka, atau bahkan berjabat tangan dan memeluk mereka. Di matanya semua manusia itu sama, semua berada dalam porsi yang pas antara si baik dan si buruk. Namun sang Kakek tak terlalu peduli padanya karena sifatnya itu.

"Rasanya saya tak ingin pulang ke rumah Kakek. Hendrick pasti ada di sana untuk memamerkan kemenangannya itu." celetuk Hans sambil menatap keluar kaca mobil.

Si Lengger Lanang || DISCONTINUED SEMENTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang