9

163 23 4
                                    

Akhir pekan bukanlah hari libur untuk Rayan. Hari Sabtu ini langit sudah mendung sejak pukul 6 pagi. Ia yang biasanya akan menjadi loper koran di hari Senin sampai Jumat, Sabtu dan Minggu ia akan mengambil pekerjaan tambahan sebagai pengantar paket dan surat dari kantor pos.

Hari ini ia sudah siap berangkat untuk mengantarkan surat dan paket menggunakan sepeda motor yang di pinjamkan oleh kantor pos. Semua barang yang akan ia antar sudah ia masukan ke dalam kotak bagasi yang ada di belakang motornya.

Rayan segera bergegas menuju rumah-rumah yang akan ia datangi. Pekerjaan menjadi tukang pos sedikit lebih melelahkan dari pada menjadi loper koran. Ia harus berkeliling seharian untuk mengantarkan paket dan surat ke rumah-rumah penduduk di sekitar kantor pos, atau kadang lebih jauh lagi.

Sudah lebih dari setengah jam Rayan melakukan motornya ke setiap rumah yang di tuju oleh surat dan paket yang ia bawa. Ia tiba di rumah yang ke sekian--Rayan tak pernah menghitungnya--dan langsung mengambil paket dan surat yang tertuju ke rumah mewah yang ada di depannya.

"Loh? Rayan?"

Rayan terdiam saat mendengar suara yang tak asing memanggilnya dari halaman rumah. Sosok Romo yang memanggilnya berlari pelan menghampirinya.

"Kamu sedang kerja?" tanya Romo sambil tersenyum. Nampak senang dirinya bisa kebetulan melihat Rayan sepagi ini.

"Ah ... Iya Tu--maksudnya, Mas Romo.." jawabnya kikuk dan canggung.

"Saya tidak terpikir kalau kamu akan mendatangi rumah saya untuk mengantar surat. Mau masuk dulu?" tawar Romo yang di jawab gelengan kepala oleh Rayan.

"Tidak usah, Mas. Saya masih harus mengantar surat yang lain. Saya permisi du--"

"Tunggu," Romo segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kertas.

"Tulis alamat rumahmu di sini." pintanya yang lebih seperti memerintah.

Rayan hanya termangu sambil menatap kertas yang di sodorkan oleh Romo. Dengan perasaan ragu dan canggung, Rayan meraih kertas itu dan menuliskan alamat rumahnya menggunakan pulpen yang ia bawa lalu mengembalikannya pada Romo.

"Saya tau kamu sedang sibuk hari ini, jadi mungkin lain kali saya saja yang berkunjung ke rumahmu. Boleh?" tanya Romo seakan menjawab kebingungan Rayan.

"Saya pikir, saya tidak punya alasan untuk melarang Mas Romo datang."

Romo menyunggingkan senyuman manis di wajahnya yang tampan. "Terimakasih karena mengizinkan saya berkunjung."

Rayan hanya mengangguk sekilas. "Kalau begitu, saya permisi dulu."

Romo mengangguk dan terus menemani Rayan hingga pemuda itu menghilang dari pandangannya.

Rintik hujan mulai turun saat Rayan masih dalam perjalanan. Dengan terburu-buru ia menepi dan memakai jas hujan yang ia bawa sebelum kemudian melanjutkan perjalanannya.

Tujuan selanjutnya adalah sebuah perusahaan. Ia masuk ke area parkir dan segera mengeluarkan surat yang harus ia berikan kepada orang kantor. Dengan sedikit terburu-buru Rayan berlari menuju bangunan perusahaan obat itu sambil menutupi surat di tangannya agar tidak terkena air hujan meski nyatanya dia sendiri tetap kebasahan setelah hujan-hujanan selama 20 menit dengan jas hujan murah miliknya.

"Permisi Mbak," ujarnya sopan di depan wanita yang berjaga di meja resepsionis.

"Ini ada surat untuk pimpinan kantornya." sambungnya lagi sambil menyodorkan surat yang ia bawa.

Si wanita menerima surat itu dan memberikan tanda tangan pada lembar tanda terima yang di bawa Rayan.

"Rayan?"

Si Lengger Lanang || DISCONTINUED SEMENTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang