5

211 33 2
                                    

Pasar akan selalu identik dengan hiruk pikuk orang berlalu lalang. Apalagi dengan kondisinya yang langsung berhadapan dengan jalanan membuat kondisi tempat transaksi jual beli itu nampak semakin ramai dengan adanya delman dan kendaraan lain yang melintas.

Asap bakaran dari warung nasi serta banyaknya bau keringat sudah menjadi aroma biasa di dalam pasar. Rayan sudah tidak terganggu lagi, bahkan sekarang pun ia tak peduli jika dirinya menjadi salah satu penyebab bau tidak sedap itu akibat bersepeda dalam waktu yang cukup lama.

Rayan berjalan memasuki pasar dengan menenteng satu plastik berisi beras. Saat membantu Ibunya di dapur ia melihat keranjang rotan yang digunakan untuk menyimpan beras sudah mulai kehabisan stoknya. Beras di rumahnya hampir habis, dan itu hanya untuk jatah 3 hari.

Panas yang terasa menyengat serta hawa gerah yang ada di dalam pasar membuat Rayan merasa sedikit haus. Ia berbelok ke sebuah warung hanya untuk sekadar memesan satu gelas teh untuk menghilangkan dahaganya.

"Mbok, tehnya satu ya." pintanya pada si penjual.

Sambil menunggu pesanannya di buat, tatapannya mengedar ke bagian luar warung hanya untuk melihat-lihat area sekitar. Sejak kedatangannya, ia sudah melihat ada beberapa orang Eropa yang ikut bertransaksi di dalam pasar. Meski kebanyakan yang ia tahu bahwa orang Eropa--khususnya Belanda--akan bersikap sombong seakan negeri ini milik mereka, tapi ia cukup kagum melihat masih ada beberapa orang Eropa yang mau berinteraksi dengan pribumi dari kelas menengah ke bawah.

Satu gelas teh hangat di sajikan oleh si pemilik warung di depan Rayan. Si kulit sawo langsung meminumnya perlahan setelah berucap terimakasih.

Rasa hangat air teh seakan langsung menghilangkan rasa lelahnya meski sedikit. Warung yang ia singgahi juga menyediakan makanan, namun ia memilih untuk tidak makan siang karena harus menghemat uangnya.

Selesai dengan istirahatnya, Rayan bergegas pergi setelah membayar untuk melanjutkan perjalanannya.

"Oh iya, beli obat Bapak." monolognya kelupaan dan berbalik arah.

Ia berjalan menuju sebuah apotek kecil yang ada di pasar. Obat yang biasa di minum sang Ayah terdiri dari obat generik buatan pabrik dan juga jamu tradisional. Sang Ayah enggan ketergantungan obat pabrik, sehingga ia meminta untuk minum jamu saja yang harganya jauh lebih murah.

"Mbak e, minta obat buat asma sama jamu buat kolesterol sama asam urat." pintanya pada si penjual.

Rayan menunggu pesanannya di ambilkan si penjaga apotek, dan ia tidak meyadari kalau ada seorang pria Belanda tengah berdiri di sampingnya dalam jarak 2 lengan dan tengah memperhatikannya.

Si penjaga apotek kembali dengan obat yang diminta oleh Rayan. Selesai membayar Rayan langsung meninggalkan toko dan masih tidak sadar kalau pria Belanda itu tengah mengikutinya.

Rayan terus berjalan menuju tempat di mana sepedanya di parkirkan ia menaruh semua belanjaannya di dalam keranjang yang sengaja di pasang pada sepeda ontelnya.

"Rayan,"

Merasa namanya di panggil oleh suara asing, Rayan menoleh ke balik punggungnya dengan perlahan dan merasa bingung begitu melihat sosok Hans tengah berada di dekatnya.

"Tuan ... Hans?"

Si pemuda Belanda yang nampak tampan dengan kemeja cokelat dan celana krem itu tersenyum saat Rayan menyebut namanya.

"Habis bekerja?" tanya Hans basa-basi dengan dialek Baratnya dan kini sudah berdiri di depan Rayan dengan kedua tangan di dalam saku celananya.

"Eee ... Iya, Tuan." jawab Rayan canggung. Ia sedikit takut dengan sosok pemuda di depannya itu.

Si Lengger Lanang || DISCONTINUED SEMENTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang