Suara denting sendok teh yang beradu dengan cangkir kala si wanita bersanggul rapi itu terdengar pelan. Ia juga turut menuangkan teh ke dalam cangkir putranya kemudian memasukan satu buah gula batu.
"Kemarin Desy cerita, katanya kamu menemui seseorang?" tanya si wanita dengan senyuman yang menggoda sang anak.
Senyum simpul terbentuk di wajah Romo. "Baru kenalan, Bu. Romo belum tau dia tertarik pada Romo atau tidak." jawabnya.
"Kenapa gak pernah cerita toh ? Tiba-tiba adikmu pulang dan bilang kalau kamu membuat dia repot di dapur karena buat kue untuk orang yang kamu taksir."
"Romo hanya memanfaatkan bakat memasaknya Desy, Bu."
Larasati, Ibunda Hadiromo dan Radesy itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Ibu harap kali ini kamu benar-benar serius. Ibu pikir ini sudah waktu yang tepat untuk kamu menikah. Bapakmu juga semakin tua, cepat atau lambat dia pasti akan menyerahkan tahtanya pada kamu."
Romo tak menyahuti ucapan sang Ibu. Ia meneguk sedikit teh di cangkirnya kala berpikir bahwa ia akan mengecewakan kedua orang tuanya jika mengetahui yang sebenarnya.
"Romo tidak bisa janji, Bu. Sekarang ini, kondisinya hanya Romo yang berusaha mendekatinya, dan dia pun nampak tak ada perasaan pada Romo. Jadi Romo tidak bisa janji kalau kali ini akan berhasil sampai pernikahan." ujarnya berusaha mencari alasan meski tak sepenuhnya alasan bohong.
"Tidak apa-apa, yang penting di coba dulu. Urusan dia akan suka sama kamu atau tidak, itu keputusannya. Kamu harus tetap hargai."
Romo menganggukan kepalanya. Jika teringat apa yang terjadi semalam, sangat jelas bahwa Rayan sama sekali tak mengerti makna di dalam tindakannya. Meski bodoh juga dirinya jika berharap kalau Rayan akan memahami maksud tindakannya.
Flashback
Pertama kali yang terlintas di pikiran Romo saat ia hampir tiba di rumah Rayan adalah, betapa sederhananya sosok yang sudah merebut perhatiannya itu. Gatauu bahwa Rayan memanv harus bekerja sangat keras untuk memenuhi kebutuhannya, tak heran bahwa rumah yang kini ia singgahi wujudnya pun sangat sederhana. Bahkan bisa di katakan rumah penduduk menengah ke bawah.
Sosok yang ingin ditemuinya tengah berada di halaman rumahnya, nampak sedang merapikan jas hujan yang kemudian ia simpan di sepedanya sebelum kemudian batal masuk ke rumah begitu melihat sebuah mobil yang berhenti di depan rumahnya.
Romo segera keluar dari mobilnya sambil menenteng buah tangan yang ia bawa. Senyum tercetak di wajahnya saat menyadari bahwa Rayan menunjukkan ekspresi terkejut yang sangat jelas saat melihat kemunculannya.
"Mas Romo?"
Ini berlebihan tapi Romo mengakui bahwa di lubuk hatinya ia merasa hatinya seakan terjun bebas kala mendengar Rayan memanggil namanya dengan embel-embel 'Mas' seperti yang dimintanya beberapa waktu lalu.
"Maaf malam-malam saya datang ke sini."
"Gak apa-apa, Mas, mari masuk." balas Rayan sambil membuka pagar rumahnya.
Rumah Rayan terasa sangat sepi, namun kondisinya cukup nyaman bagi Romo meski kenyamanan yang ia rasakan berbeda jauh dengan istana yang ditinggalinya.
"Sedang sendirian di rumah?" tanya Romo basa-basi.
"Iya Mas. Bapak dan Ibu sedang keluar. Silakan duduk, Mas, saya buatkan minum dulu."
Romo hanya menganggukan kepalanya. Sejenak ia sempat merenung, kenapa hari itu ia bisa berpikir untuk menghampiri Rayan dan memberikannya minum? Padahal ia bisa dengan sangat mudah mengabaikan Rayan dan sibuk dengan urusannya sendiri tanpa perlu repot-repot menawari Rayan minum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Lengger Lanang || DISCONTINUED SEMENTARA
FanfictionCast Utama: • Mark: Hans van Leeuwen • Haechan: Rayan Hadiswana • Mingyu : Hadiromo Pakabhumi Wicaka Rayan Hadiswana hanyalah seorang pribumi biasa. Tak ada yang istimewa darinya yang hanya seorang loper koran sekaligus seorang penari Lengger. Namu...