🌸🌸🌸
Abimanyu tak langsung melajukan mobilnya saat Chandara turun. Lelaki itu menatap sang kekasih hingga masuk ke dalam rumah kost. Mata Abimanyu terpejam dengan punggung bersandar di jok kemudi. Perlahan air mata mengintip dari sudut manik yang terbingkai kacamata. Bohong jika pertengkaran kali ini tidak melukai perasaannya. Banyak hal yang ingin dia sampaikan pada Chandara. Namun, Abimanyu tidak pandai mengungkapkan. Ada rasa takut semua semakin kacau jika dia membuka mulut.
“Aku sayang banget sama kamu, Ra. Aku gak bermaksud begitu. Maafin aku,” ucap Abimanyu seorang diri dengan air mata semakin deras.
Di sisi lain, Chandara sama terpuruknya. Meski dia yang mencetuskan untuk memikirkan ulang hubungan mereka, tetapi bukannya semakin lega, hatinya justru semakin sakit.
“Andai gue gak jatuh cinta sedalam ini sama Mas Abi, gue gak perlu ngerasain sakit kayak gini,”
Chandara melirik foto-foto yang terpajang di kamar kost. Banyak sekali fotonya dan Abimanyu. Mulai dari pertama kali mereka berpacaran, hingga aniversarry sebulan lalu.
“Kenangan sebanyak ini gimana caranya move on? Mending gak usah pacaran sama sekali.”
Gadis itu menyusuri kumpulan foto mereka berdua. Dimulai dari foto pertama mereka setelah drama musikal, berlanjut saat dirinya menemani Abimanyu wisuda, kemudian foto saat lelaki itu yang menemani Chandara wisuda.
“Sakit ... sakit banget. Gimana caranya gue survive kalo beneran udahan?” ujar Chandara dengan nada bergetar. Gadis itu duduk di lantai dengan tangan meremas baju di bagian dada.
Abimanyu sudah menjadi bagian hidupnya selama 7 tahun. Tidak mudah mengubah kebiasaan. Chandara tahu sekali hal itu. Lagi pula dia hanya meminta Abimanyu memikirkan kembali hubungan mereka, bukan berarti semua berakhir. Biarlah ini jadi ajang introspeksi diri masing-masing.
Chandara bergerak menaiki tempat tidur. Foto Abimanyu yang menjadi wallpaper ponselnya dipandang lekat. “Apa bener gue yang ngebet sama Mas Abi? Diinget-inget enggak sama sekali malah. Dulu gue bucin setengah mati sama Kak Brian.”
“Gue udah nahan hal ini bertahun-tahun. Mending diungkapin sekarang daripada nanti kalo udah terlanjur nikah,” imbuhnya.
Chandara terus meyakinkan diri. Namun, apa yang dia rasakan berbanding terbalik dengan ucapan. Tangisannya kembali pecah saat kenangan manis dengan Abimanyu berputar bagaikan film dokumenter. Manusia memang suka membohongi diri mereka sendiri, bukan?
“Kalau boleh ngulang waktu, mending gue tetap bucin sama Kak Brian. Gue gak bakal nerima confess-nya Mas Abi.”
Guling dengan sarung bantal motif bunga-bunga menjadi pelampiasan. Chandara memeluk erat sambil menangis dan membiarkan diri tertidur karena lelah. Berharap akan ada hal baik esok hari saat dia terbangun.
***
Bunyi jam weker yang nyaring mengusik tidur lelap Chandara. Perlahan mata bulat yang sembab itu terbuka. Pemandangan pertamanya adalah meja belajar dengan tumpukan buku menjulang tinggi bagai menara sutet.
Meja belajar buluk itu bukannya udah gue loakin, ujar Chandara dalam hati.
Gadis itu mengubah posisi menjadi terlentang. Mata yang masih menahan kantuk seketika terbuka lebar. Chandara ingat sekali bukan begini rupa langit-langit kamarnya di kost.
“Gue diculik?”
Buru-buru gadis itu bangkit dan duduk. Batinnya semakin syok saat melihat keadaan ruangan tempat dia berada.
“I-ini kamar gue dulu waktu masih di rumah Mama? Rumah ini, kan, udah rata sama tanah?” Chandara memindai sprei yang tengah dia duduki seraya menggeleng. “Seprei Hello Kitty ini udah jadi lap. Gue inget banget pas motong-motong,” cicit Chandara dengan wajah pias.
“Chan ... bangun! Kamu nanti telat kuliah, loh!”
Tubuh Chandara membeku. Bukankah itu suara mendiang Mama? Apa dia ada surga?
“Masak gue udah caw dari bumi? Gue belum nikah dan ngumpulin pahala.”
Chandara bangun dari tempat tidur dan berjalan gontai. Dia seperti anak ayam yang tersesat di ladang milik tetangga. Kamar ini memang percis seperti saat dia masih di bangku kuliah. Bahkan posisi piagam dan celengan ayamnya sama.
“Chan! Heran deh Mama lihat kamu susah banget dibangunin!” omel seorang wanita paruh baya saat membuka pintu kamar Chandara.
Tubuh Chandara gemetar. Mendiang ibu yang meninggal 3 tahun lalu kini ada di hadapan. Tangan gadis itu terulur untuk menyentuh pipi sang ibu. Ini nyata, Chandara dapat merasakan kulit ibunya.
“Ma ... Mama masih hidup?” tanya Chandara dengan mata berkaca-kaca.
Suasana sendu tak bertahan lama. Wanita paruh baya berambut ikal itu memukul jidat Chandara dengan sutil yang dia bawa.
“Anak durhaka! Kamu mau sumpahin Mama? Buruan mandi!”
Chandara mengaduh karena pukulan sang ibu. Pukulan sutil ini lebih sakit dari sentilan Tania. Lama-lama dia akan benar menjadi lohan.
“Apa yang terjadi sama gue? Kalau mimpi gak mungkin jidat gue sakit kena sutil.” Chandara masih mencoba menerka. Dia tidak mungkin salah ingat.
Atensi itu teralih saat melihat ponsel di atas nakas. Itu adalah ponselnya saat kuliah. Memang ponsel dengan teknologi layar sentuh, tetapi tentu jauh lebih ketinggalan zaman dari ponsel miliknya saat ini.
“Ini beneran hp gue zaman dulu,” cicit Chandara saat melihat foto Brian yang diambil diam-diam sebagai wallpaper ponsel.
Mata bulat Chandara berkedip cepat saat melihat tanggal hari ini di layar ponsel. Tahun 2015? Bukankah ini 7 tahun ke belakang dari tahun 2023? Tidak mungkin, kan, kehidupannya selama ini hanya bunga tidur. Bahkan mata sembab karena menangisi Abimanyu masih berbekas.
“Wait ... wait! Apa-apaan nih? Masak gue balik mundur? Mesti ngulang lagi skripsian terus nyari kerja gitu? OMG, no!”
Chandara berteriak seperti orang kesurupan, rambutnya dijambak tak karuan. Kini bukan lagi sutil yang mendarat, melainkan gayung kamar mandi dilempar sang ibu hingga mengenai kepala si gadis berpipi tembam.
“Mandi! Jangan akting jadi pemain Tutur Tinular. Udah tahu kuliah naik Transjakarta yang ngantri kayak ular naga,” omel sang ibu dari celah pintu yang terbuka.
“Mama emang suka nyiksa aku, mau dulu atau sekarang sama aja!” Chandara mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi.Sesekali matanya memindai isi rumah. Ini memang rumahnya dahulu saat kuliah. Seingat Chandara tanggal hari ini adalah tepat sebulan sebelum dirinya berpacaran dengan Abimanyu.
“Apa gara-gara gue bilang pengen ngulang waktu terus dikabulin?”
Bersambung🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa Rasa
RomanceTerbangun dan kembali mengulang masa 7 tahun lalu, Chandara bertekad untuk mengubah takdir hubungannya dengan sang calon suami, Abimanyu. Bagaimana kisah mereka berdua? Karya original Sakura Aeri. Dilarang keras menyalin, merubah, dan meniru.