Chandara menarik tangannya dengan cepat hingga Abimanyu tersentak kaget. Lelaki itu memandang penuh tanya pada gadis di hadapan.
“Lo kenapa sih, Ra? Udah sok bisa main gitar, giliran gue tolongin pas jari lo berdarah, malah kayak gini.”
Chandara menggeleng keras. “Gak usah tolongin gue, Kak. I’m fine! Gak usah juga berusaha keras ngajarin gue main gitar. Gue gak minat sama sekali.”
Tak menunggu respons Abimanyu, Chandara merapikan laptop dan ransel lalu bergegas keluar ruangan. Gadis itu sesekali meniup ibu jari yang terasa perih. Meski sudah tak mengeluarkan darah, tetapi tetap saja masih sakit.
“Gonjreng-gonjreng membawa petaka namanya ini mah,” gerutu Chandara seraya menuju halaman kampus.
Gadis berponi itu menatap langit yang sedikit mendung. Seingatnya dulu, ini akan berakhir hujan lebat. Saat itu Chandara ingat jika dia makan bakso dengan Abimanyu setelah bermain gitar sambil berteduh.
“Setidaknya satu jalan cerita udah berubah hari ini,” gumam Chandara sendu.
Biar bagaimanapun hal itu adalah kenangan manis untuk Chandara. Namun, jika dia ingin mengubah jalan cerita percintaannya dengan Abimanyu, satu per satu kenangan itu akan dikorbankan untuk menghilang, bukan?
“Lo itu! Orang belum selesai ngomong udah main kabur aja,” ucap seseorang dari arah belakang.
Mata bulat Chandara membola saat membalik badan. “Kak Abi? Ngapain nyusulin aku?”
Raut kesal kentara sekali di wajah Abimanyu. Lelaki itu mengibaskan benda kecil yang dia bawa di depan wajah Chandara. “Luka kamu harus ditutup plester.”
Sialan! Pipi Chandara mengeluarkan semburat merah. Hal sekecil ini saja mampu membuat hati berbunga. Terang saja karena dia memang memiliki perasaan terhadap Abimanyu, lelaki yang menjadi pacarnya selama 7 tahun.
“Blush on kamu ketebelan, ya? Baru kelihatan di bawah sinar matahari gini,” celetuk Abimanyu.
“Gak usah repot, Kak. Aku bisa beli di warung seberang kampus.”Abimanyu menengadahkan tangan. Ucapan Chandara seperti angin lalu. “Jarimu siniin.”
Chandara menggeleng dan menyembunyikan ibu jari yang terluka di depan dada. “Gak mau!”
Tidak hilang cara, Abimanyu berlutut di hadapan Chandara hingga beberapa orang mulai memperhatikan mereka.
Mas Abi udah gila! Ngapain dia berlutut di depan gue? Perasaan dulu dia gak mungkin kayak gini.
“Sebelum kita jadi tontonan kayak topeng monyet, mending serahin jari lo ke gue,” ucap Abimanyu.
Chandara mengalah. Dia tidak ingin menjadi pusat atensi. Itu terlalu menyeramkan untuknya yang tidak terlalu suka bergaul.
“Nih! Nyebelin banget.”
Alis Chandara mengerut saat Abimanyu tak kunjung berdiri. Lelaki itu membersihkan lukanya dengan kapas alkohol sambil berlutut.
“Kak Abi berdiri! Kok masih berlutut aja,” bisik Chandara mulai tidak nyaman.
Abimanyu seolah tidak peduli. Lelaki itu sibuk menempel plester setelah mengusap luka dengan kapas alkohol.
“Tanggung. Emang kamu gak suka di-treat kayak gini?”Chandara tak menjawab. Gadis itu tengah mengulik memorinya dahulu. Seingat dia, Abimanyu tidak akan begini di depan umum. Tetes gerimis membuat Chandara tersentak dari lamunan. Abimanyu berdiri dan melepas kemeja flanel yang dia tengah kenakan. Lelaki itu membuat payung darurat dengan ini.
“Agak deketan sini! Kamu gak lihat hujan?” ujar Abimanyu.
Gadis di hadapan Abimanyu masih diam membeku seperti batu. Chandara tengah syok dengan rangkaian sikap lelaki ini karena jauh berbeda dari ingatannya.
“Kamu mau cosplay kayak patung sampai gerimis berubah jadi puting beliung? Keburu kemeja aku basah.”
Chandara buru-buru berjalan mendekat dan ikut berteduh di bawah kemeja. Mereka berlari kecil sambil berdampingan dengan jarak dekat. Chandara dan Abimanyu sama-sama menoleh, wajah mereka sangat dekat hingga dua anak manusia itu salah tingkah.
Oh My God! Kenapa malah jadi lebih parah dari jalan cerita seharusnya, batin Chandara nelangsa.
“Berteduh di kantin aja sambil makan bakso,” usul Abimanyu begitu mereka sampai di bangunan kantin.
Lah! Malah beneran jadi makan bakso. Ini gue mesti pura-pura kesurupan biar Abimanyu pergi kali, ya?
“Lo bengong mulu kayak menteri mikirin negara. Buruan duduk di meja pojok,” titah Abimanyu seraya berlalu menuju meja kasir untuk memesan.
Chandara menarik napas dalam. Dia merasa gagal total dalam misi ini. Padahal baru hari pertama. Gadis itu memandang sebal ke arah Abimanyu yang mengambil tempat duduk di seberang.
“Kenapa muka lo kesel kayak habis kalah togel?”
Bahu Chandara mengedik acuh. Dia sedang kehabisan energi. Belum lagi perut yang terus berbunyi.
“Entar lagi baksonya dateng. Gak usah kayak mau kiamat gitu kalo laper,” imbuh Abimanyu yang dibalas tatapan jengkel oleh Chandara.
Bau harum kuah bakso seketika menyihir sang gadis begitu makanan diantar. Semangkok bakso tanpa seledri dan ekstra pangsit tersaji nikmat di hadapan.
“Penyelamat rintihan perutku,” gumam Chandara antusias.
Setelah memasukkan beberapa sendok sambal, gadis itu berdoa sejenak sebelum melahap bakso tanpa ampun. Akan tetapi, baru dua suapan Chandara tiba-tiba terbatuk hebat.
“Lo tuh kalo makan pelan-pelan! Gak ada satpol PP di sini.” Abimanyu beranjak dan menepuk lembut punggung Chandara. Tidak lupa menyodorkan segelas teh hangat yang tadi dia pesan.
Bukan tanpa alasan Chandara tersedak. Dia baru ingat jika sosok Abimanyu di hadapan bukanlah kekasihnya. Tahu dari mana lelaki ini tentang bakso yang biasa Chandara pesan? Dia ingat sekali jika ini adalah kali pertama mereka makan bakso berdua.
“Tahu dari mana gue gak suka seledri? Gak semua orang tahu tentang kebiasaan makan gue,” tanya Chandara tiba-tiba.
“Gampang. Tahu dari yang jaga stand bakso. Mungkin lo sering makan di sini,” sahut Abimanyu enteng.
Chandara menimang. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan Abimanyu. Dia saja yang terlalu overthinking.
“Kapan-kapan gue ajak ke warung bakso langganan di daerah Cipayung. Beuh, sekali nyoba pasti ketagihan.”
Iya gue tahu dan sampai 7 tahun ke depan kita masih langganan di sana, Mas.
“Dalam rangka apa Kak Abi ngajakin gue makan bakso jauh-jauh ke Cipayung? Kan, gue udah bilang, kita hanya berhubungan secara profesional sebagai pengurus UKM,” sahut Chandara sambil mengunyah pangsit favoritnya.
“Dalam rangka rapat. Gue nanti adain rapatnya di warung bakso.”
Chandara memang susah menang jika sudah bicara dengan Abimanyu. Dia memilih tak mendebat. Lebih baik menikmati bakso di hadapan.
“Abi!”
Teriakan lemah lembut seorang wanita mengalihkan atensi Abimanyu dan Chandara. Sejenak napas si gadis berponi tertahan saat melihat Arsyi berlari manja ke arah Abimanyu.
“Syi, katanya kamu udah pulang duluan? Kok, masih di sini,” tanya Abimanyu seraya menepuk kursi di sebelahnya agar Arsyi duduk.
Cih! Aku kamu, aku kamu. Sok akrab, sok paling deket.
Chandara tak henti menggerutu dalam hati. Tak bisa ditampik dia merasa panas melihat interaksi dua orang di depannya. Beberapa kali gadis itu berpura-pura batuk, tetapi Abimanyu masih asyik mengobrol dengan Arsyi. Hingga tanpa sadar Chandara melempar sendok ke dalam mangkok dengan kasar.
“Kenapa lo? Udah selesai makan?” tanya Abimanyu.
Chandara merogoh saku jeans untuk mengambil uang dan meletakkannya di atas meja.
“Nih, uang baksonya. Gue mual, mau muntah keracunan pangsit!”
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa Rasa
RomanceTerbangun dan kembali mengulang masa 7 tahun lalu, Chandara bertekad untuk mengubah takdir hubungannya dengan sang calon suami, Abimanyu. Bagaimana kisah mereka berdua? Karya original Sakura Aeri. Dilarang keras menyalin, merubah, dan meniru.