Banyak pertanyaan yang dilontarkan dari pihak manapun, mulai ketika ia ditangkap, lalu diinterogasi, bicara dengan pengacara bahkan ketika sudah duduk dibalik meja tersangka.
Tiba-tiba saja. Setiap membuka mulut akan bicara, tenggorokannya serasa di cekik, memblokir semua jalan bagi suara yang ingin keluar. Membuatnya kembali bungkam hingga membuat semua orang naik pitam.
Kim Mingyu-ssi. Apa yang terjadi padanya?
Tidak ada yang tahu bagaimana pikiran orang berjalan. Mata yang pada awalnya selalu melayangkan tatapan tajam itu kini yang tersisa hanya kekosongan.
Akal sehatnya telah dibawa pergi seiring dengan bayang-bayang sang istri yang perlahan memudar kala itu.
Ia tak bisa berpikir. Tak bisa mengingat apapun selain perlakuan buruknya pada sang putra tercinta, hingga puncaknya kemarin, ketika dengan jelas ia menyaksikan bagaimana bayangan putih itu menggenggam tangan lemas putranya.
Ah, jadi begini rasanya. Begini rasanya berada di posisi Junkyu waktu itu. Merasa takut kehilangan, merasa sakit kala tahu jika akan ditinggal. Merasa terlalu tak pantas untuk menangis dan selalu menyalahkan diri sendiri.
Bahkan saat semua orang berdiri kala yang paling berkuasa disana datang, yang dilakukan pria dewasa itu tetap sama, menatap kosong udara tanpa ada niatan melirik kearah manapun.
Dan sekarang. Pertempuran yang sebenarnya dimulai. Seorang pria dewasa dengan jubah kebanggaannya itu berlenggang keluar dari balik meja dengan tulisan Jaksa diatasnya.
"Kim Mingyu-ssi. Melakukan kekerasan kepada putranya selama bertahun-tahun, memperlakukan anak kandungnya sendiri jauh dari kata pantas. Pelaku bahkan tega membunuh putranya dan menyembunyikan jasadnya"
Pria dewasa lain yang duduk tepat disamping Mingyu berdiri, bicara untuk membantah segala tuduhan yang Jaksa itu layangkan padanya.
"Keberatan Yang Mulia. Pelaku tidak mengakui satupun tuduhan, tidak ada bukti nyata juga yang membenarkan jika ucapan pihak penuntut itu benar. Juga korban, mereka tidak memiliki keasaksian dari korban karena korban sendiri sedang dalam kondisi kritis saat ini"
Choi Seungcheol, pihak penuntut itu menunduk sebentar untuk menyembunyikan senyumnya. Ia tak mengira jika harus memanggil saksi padahal ini semua baru dimulai.
"Maaf, tapi kami memiliki saksi. Yang Mulia, izinkan saya memanggil saksi yang bisa membenarkan ucapan saya"
Tanpa pikir panjang, orang yang diajak bicara itu mengangguk, mengizinkan saksi yang dimaksud oleh Seungcheol masuk dan ikut andil dalam persidangan.
Yang pertama adalah Jihoon.
"Dengan ini saya bersumpah, jika saya hanya akan mengatakan kebenaran apa adanya tanpa ada pengurangan atau penambahan. Dan saya siap menerima segala hukuman atas sumpah palsu"
Setelah sumpah terucap, tangan kanan Jihoon yang awalnya melayang diudara kini ia tarik dan buku digenggaman kembali ditaruh keatas meja.
Jihoon gugup, tentu saja. Tapi sebisa mungkin ia mencoba terlihat tenang.
"Park Jihoon-ssi, anda bilang pernah melihat pelaku memukuli korban, apa itu benar?"
"Benar"
"Bisa anda ceritakan bagaimana kejadiannya?"
"Tentu"
Helaan nafas kecil terdengar sebelum Jihoon melanjutkan kalimatnya dan menceritakan semua yang ia tahu, mulai dari saat mengantar pulang, saat Doyoung memanggil dirinya dan Haruto malam itu, hingga saat ia menemukan kawannya dalam keadaan mengenaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled [REVISI]
FanfictionTak sekalipun ia berpikir jika manusia bisa semenjijikkan ini. Yang tanpa rasa ragu menulikan pendengaran ataupun menutup rapat mata kala seseorang memohon akan uluran tangan. 'Tidak merugikan ku, itu bukan urusanku. Aku tak berkewajiban ikut andil...