Haruto hanya merunduk dalam, mendengarkan bentakan dan perkataan sarkas yang di lontarkan sang guru di hadapan. Bahkan sepertinya pria dewasa itu akan mengumpat jika saja tak ada seseorang yang menenangkan.
Sial, padahal baru saja bel panggilan untuk makan siang berbunyi, dan baru saja ia keluar kelas bergegas hendak menyantap hidangan surgawi di kantin, sang guru menyebalkan nya itu sudah di depan kelasnya, menyeretnya pergi ke ruang guru dengan telinga dijewer.
"Aku sudah mengatakannya ratusan bahkan ribuan kali, berhenti membolos dan kerjakan tugasmu Watanabe!!"
Ingin melontarkan argumen. Pasti. Tapi ia tak bisa, karena pada kenyataan semua ini memang murni kesalahan yang ia buat sendiri.
Jadi mau tak mau Haruto hanya bisa diam, mendengar segala omelan pria dewasa dihadapan sampai telinganya terasa begitu panas.
"Apa saja yang kau lakukan di rumah sampai tak ada satupun tugasmu yang selesai? Kau sudah kelas tiga sekarang, apa yang kau mau aku lakukan dengan nilai rapormu? Membuatnya sebagai bungkus cabai? Begitu?"
"Ah ssaem, maafkan aku. Aku janji akan belajar lebih giat lagi"
Sang guru memijit pelipis nya yang terasa begitu pening dengan kelakuan muridnya ini. Membolos, tak pernah mengerjakan tugas, selalu mendapat nilai merah di setiap mata pelajaran. Bagaimana bisa ada murid tingkat akhir yang benar-benar kacau seperti ini.
"Haruto, kau tidak mau masuk universitas?"
"Ah ssaem, mana mungkin aku tidak mau? Hanya saja aku sedang sibuk mengerjakan hal lain akhir-akhir ini. Ssaem juga tau kan kalau aku tidak sebodoh itu? Aku pernah mendapat ranking tiga saat SMP dulu. Hanya saja perbedaan budayanya yang sangat terasa jelas, jadi aku tidak bisa berkonsentrasi"
"Anak ini benar-benar"
Buku yang ada diatas meja sudah melayang di udara juga Haruto yang sudah memasang gestur pertahanan diri. Namun untung saja stok kesabaran sang guru masih tersisa beberapa lembar, hingga masih mampu menarik kembali tangannya sebelum buku tebal itu benar-benar mengenai kepala Haruto.
"Baiklah, beritahu aku apa 'pekerjaan lain' yang kau sibuk kerjakan itu"
Haruto mengepalkan tangannya dengan senyum tampan tapi tengil yang mengembang, bicara dengan penuh percaya diri seolah hal yang akan ia katakan adalah hal yang sangat membanggakan.
"Aku bekerja membela kebenaran"
Tangan pria dewasa itu mulai mengepal erat dengan urat-urat yang mulai menonjol di leher hingga pelipisnya. Emosi yang sejak tadi ia tahan sudah mencapai batas yang sanggup ia genggam, hingga dirasa tanduk tanda kemarahan yang teramat sangat perlahan muncul di kepala.
"Keluar"
Haruto terlampau menyadari hawa mengancam nyawa yang keluar dari aura menyeramkan gurunya saat ini. Dan tanpa menimang kembali Haruto langsung bangkit dan membungkuk hormat sebelum beranjak pergi.
Sial sekali ia harus kembali mendapat omelan memuakkan dari sang guru, lambungnya bahkan terasa begitu ngilu memberontak protes karena sama sekali tak di isi dari pagi.
"Hei jerapah!"
"Hei!!"
Langkah Haruto terpaksa terhenti kala kepalanya di pukul dengan kuat dari belakang. Ia mendesis kesal dan memutar tubuhnya mendapati Jihoon yang justru berlalu dengan santai.
"Tuli ya?"
"Aku punya nama"
Jihoon mengendikkan bahu acuh, menatap Haruto sekilas sebelum kembali melanjutkan langkahnya di susul dengan Haruto yang ikut mensejajarkan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled [REVISI]
FanfictionTak sekalipun ia berpikir jika manusia bisa semenjijikkan ini. Yang tanpa rasa ragu menulikan pendengaran ataupun menutup rapat mata kala seseorang memohon akan uluran tangan. 'Tidak merugikan ku, itu bukan urusanku. Aku tak berkewajiban ikut andil...