Dengan telaten Jeonghan menyeka seluruh bagian tubuh Junkyu. Membersihkannya agak tak ada setitik pun kotoran yang hinggap. Tak ada satupun bagian yang ia lewatkan barang seujung ibu jari.
Diam sejenak, pria itu terus menatap wajah damai sang murid cukup lama. Hatinya ikut merasakan sakit kala mengingat apa yang telah dialami sosok di hadapan.
Jujur, Jeonghan masih tak dapat mempercayai apa yang terjadi, ia tak percaya anak sebaik ini harus mengalami hal yang begitu mengerikan.
Banyak pertanyaan yang bermunculan di benaknya. Tentang awal mula dari segala kesengsaraan ini, tentang bagaimana sang murid bisa bertahan hingga sejau ini.
Air mata mulai mengaburkan pandangan, hatinya kian berdenyut. Tak bisa ia tak ikut serta menyalahkan diri sendiri. Jika saja ia bisa lebih peka, jika saja ia bisa lebih memperhatikan maka tak akan anak didiknya mengalami nasib yang begitu malang.
Di tengah tangisnya, Jeonghan di buat terperangah. Lantaran tangan yang ada di genggaman terasa bergerak ikut serta membalas.
Jeonghan menatap pada wajah Junkyu yang matanya masih senantiasa terpejam, lalu ia kembali merunduk, lekat-lekat fokusnya hanya ia berikan pada jemari di genggaman.
Cukup lama pria matang itu hanya diam mengamati, menunggu jika saja memang benar kejadian tadi bukan sekedar ilusi.
"Ssaem.."
Benar. Tubuh Jeonghan meremang lalu membeku setelahnya. Anak didiknya telah memanggil dirinya, dengan suara parau menahan sakit yang teramat.
Kim Junkyu, telah membuka matanya.
"J-Junkyu-ya.. Ya Tuhan syukurlah kau sudah bangun"
Jeonghan menangis sejadinya, beribu rasa syukur ia panjatkan pada sang pencipta atas kebangunan anak didiknya.
"Tunggu disini, ssaem akan panggilkan dokter"
Jeonghan hendak berbalik pergi, namun segala pergerakannya terhenti lantaran jemarinya yang tiba-tiba di genggam.
"Junkyu-ya, ada apa? Apa kau kesakitan? Kau butuh sesuatu?"
Gelengan kecil Junkyu berikan sebelum ia kembali membuka bibir. "A-appa.."
Jeonghan diam sejenak, ia meringis ngilu dalam diam mendengar kata pertama yang Junkyu ucapkan setelah tak sadar sekian lama.
Bagaimana bisa, setelah semua yang dilaluinya, remaja itu masih bertanya tentang ayahnya, dengan wajah polos yang terlihat begitu menyakitkan.
"Junkyu-ya, kita temui dokter dulu ya?"
Lagi, Jeonghan hendak pergi namun dengan jelas ia bisa merasakan jika genggaman pada jemarinya makin bertenaga.
Junkyu kembali menggeleng, cairan bening telah menggenang di pelupuk dan mengaburkan pandangan.
Remaja itu menatap sang guru dengan putus asa. Rasa panas juga sesak perlahan mulai menggerayapi hatinya. Meremas begitu kuat.
"Ssaem.. Kumohon.. A-aku ingin bertemu dengan appa.."
"Junkyu-ya, kau baru saja bangun. Dokter harus memeriksamu dulu—"
Isak tangis remaja itu membuat Jeonghan bungkam. Ia tak mengerti, seberapa besar rasa cinta yang anak didiknya ini miliki untuk sosok bengis ayahnya.
Sosok ayah yang telah menghajarnya habis-habisan, sosok ayah yang mengurungnya dalam penjara untuk waktu yang begitu lama, sosok yang telah menghancurkan hidup putranya sendiri.
Setelah segala penderitaan yang telah ia lalui karena sosok bengis itu, bagaimana bisa, masih ada rasa khawatir juga cinta yang masih bertahan.
"Kim Junkyu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled [REVISI]
Fiksi PenggemarTak sekalipun ia berpikir jika manusia bisa semenjijikkan ini. Yang tanpa rasa ragu menulikan pendengaran ataupun menutup rapat mata kala seseorang memohon akan uluran tangan. 'Tidak merugikan ku, itu bukan urusanku. Aku tak berkewajiban ikut andil...