1

2.5K 159 9
                                    

"Para penumpang kami yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta. Waktu setempat....."

Aku memejamkan mata, Kepalaku rasanya mau pecah, dan keringat dingin mulai menetes di dahiku. Bukan karna fobia terbang tapi mungkin hari ini kondisi tubuhku sedang kurang sehat. Sejak tadi siang rasanya seperti aku ingin pingsan. Pasti ini gara-gara kecapekan lagi. Pekerjaanku sebagai relationship manager di BorderBank, salah satu bank swasta asing di Jakarta, mengharuskanku sering jalan-jalan mengunjungi lokasi usaha nasabah kelolaanku. Aku baru saja kembali dari OTS ke salah satu perkebunan kelapa sawit nasabahku di Pekanbaru, setelah sebelumnya ke Surabaya.

Saat akhirnya aku berjalan menenteng koperku menuju terminal kedatangan, rasanya aku sudah mau pingsan, dan ingin merebahkan tubuhku di kasur kamarku yang empuk. Tadinya aku berencana langsung ke kantor untuk membicarakan hasil OTS ku dengan Pak Yanto Gunawan, Division Head Corporate Banking, tapi dengan sakit kepala yang seperti ini kayaknya ngga mungkin.

"Kita ke mana, Bu?" Didi, supir kantor yang menjemput ku, menoleh.

Ke kantor sudah ga sanggup. Ke rumah? Atau ke rumah sakit? Aku benci rumah sakit, rasanya perutku langsung mual dan jantungku langsung berdetak kencang setiap kali mencium bau antibiotik dan karbol rumah sakit yang menyengat. Aku memiliki ketakutan luar biasa dengan rumah sakit dan aku tidak bisa menjelaskan alasannya.

"Ke rumah aja dulu, Di," aku menyandarkan kepala ke kok belakang sambil meminum aspirin.

Sepuluh menit, dua puluh menit, bahkan saat aku telah tiba di rumah dan berbaring, kepalaku tetap berdenyut dan ingin pingsan.

Aku membuka mata dan meraih ponselku di nakas, menatap nama di speed dial Contact-ku. No, I'm not calling him. I am Not calling him. Damn, jika sakit kepala ini tidak membunuhku.....

Aku menyerah dan memencet nomornya.

"Jen? Ada apa?" ia menjawab setelah deringan kesepuluh.

Suaranya terdengar kaget, walaupun nadanya agak dingin.

"Ji, kamu lagi di mana?
"Di rumah sakit. Seperti biasa. Memangnya mau kamu di mana?"

Kepalaku semakin berdenyut. Sudah begini masih cari berantem aja. "Ji, aku nelpon bukan mau berantem. Aku minta tolong. I think I'm about to pass out"

"Maksud kamu?"
"Aku mau pingsan, Jisoo. So can you just get your ass here and help me?"

"kamu itu ya, Jen, mau minta tolong aja harus pakai kasar."

"Jisoo Prajogo Pangestu! Nggak usah pakai bilang aku kasar deh. Kamu mau ke sini atau...."

Tuut..!

Sialan, diputus, lagi teleponnya. Setan, setan, setan! Tapi ternyata si setan itu muncul juga setengah jam kemudian. Aku kaget setengah mati saat ia muncul di pintu kamar tidurku.

"Masuk dari mana kamu?"
"Aku pernah tinggal di sini dua tahun lalu, ingat? Aku masih punya kuncinya." Jisoo langsung duduk di samping tempat tidur dan mengeluarkan stetoskop.

"Lho, bukannya aku sudah bilang supaya kamu buang kuncinya setelah kita bercerai?" Aku masih ngotot. Ya nggak lucu aja kalau Jisoo masih punya akses ke apartemen ini, masuk-masuk sesuka hatinya aku sedang tidak di rumah misalnya.

"Jennie, kamu mau bahas masalah kunci, atau mau aku periksa sekarang sebelum kamu pingsan beneran?" Jisoo menatapku tajam.

Aku menyerah, dan membiarkan ia serius menempelkan stetoskop dinginnya di dada dan perutku.

"Belum bisa ngelupain aku ya?"

Ha? Maksudnya?
Dan wajahku langsung memerah saat ia meletakkan telunjuknya di dada kiriku.

Divorce (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang