5

609 95 14
                                    

Kata-kata bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Benar adanya.

Aku adalah orang yang tidak bisa sendirian. Dan saat ini aku sedang sendirian di kamar hotel The Aryaduta di Medan, rasanya mati gaya abis.

Tadi pagi aku terbang ke Medan untuk mengunjungi salah satu pabrik nasabahku, bagian dari tugasku sebagai relationship manager yang intinya menyalurkan fasilitas kredit kepada nasabah korporasi, lantas menjalin hubungan baik dengan para pengusaha yang menjadi nasabahku sambil terus memantau perkembangan bisnis mereka.

Mau tahu apa kata Rosse tentang pekerjaanku? Dia bilang seharusnya aku memanfaatkan pekerjaanku yang banyak berhubungan dengan pengusaha-pengusaha kaya dan big bosses korporasi besar di Indonesia untuk mencari calon suami baru.

"Kurang ajar lo, Ross, ya. Jadi maksud elo, gue harusnya macarin Bob Sadino, Aburizal Bakrie, atau Ciputra? Emangnya gue Anna Nicole Smith?" kataku sebal.

"Bukan, dodol. Maksud gue itu, elo pacarin anaknya kek. Anindya Bakrie kan lumayan keren tuh."

"Dia udah kawin kaleee."

"Ya siapalah. Tapi elo ngerti maksud gue, kan? Elo lebih tahu dong siapa anak-anak si bos-bos besar itu, mana yang keren, mana yang single, mana yang bisa bikin elo bisa beliin gue tas Anya Hindmarch tiap bulan..."

Aku cuma ketawa.

Tapi sekarang, kayaknya agak-agak gila juga kalau aku ketawa-ketawa sendiri, saat aku tiduran sendirian di kamar hotel, gonta-ganti channel nggak jelas. Mau iseng ngegosip di telepon juga nggak bisa, Rosse lagi pacaran sama Seulgi, Lim lagi OTS juga ke perkebunan kelapa sawit di Pangkalan Bun, dan sepertinya sinyal seluler agak-agak susah di sana soalnya ponselnya voicemail terus. Jisoo... well, Jisoo sudah tidak lagi masuk daftar orang-orang yang kutelepon kalau aku lagi sendirian di kamar hotel seperti sekarang. Dulu juga waktu aku dan dia masih happily married, percakapannya tidak pernah lebih dari dua menit.

"Sayang, sori ya, aku ada pasien gawat yang harus aku cek. Nanti aku telepon lagi deh."

Nantinya Jisoo itu biasanya jam 12 malam, saat aku sudah ketiduran duluan. I should have known seharusnya bankir dan dokter tidak boleh menikah karena mereka memiliki zona waktu yang berbeda. Sudah begitu, ada lagi peraturan aneh yang mengharamkan sesama bankir di bank yang sama menikah. Kinda close off the market, don't you think? Padahal setiap hari yang dilihat sesama bankir juga. Do they expect us bankers to fall in love randomly to strangers in the restaurants or the malls when we have our lunch break?

Teert! Teert!

HP-ku bergetar-getar di meja, aku tidak mengenal nomornya.

"Halo?"

"Hei, Jennie. Apa kabar? Gue nggak ganggu, kan?"

Aku tersenyum saat mengenali suara itu. "Hyunjin? Gue baik. Elo di mana?"

"Di Medan. Baru balik dari Kuala Lumpur tadi sore."

Aku kaget. "Serius?"

"Serius. Emang kenapa, Jen?"

"Gue juga lagi di Medan, Hyun. Ketemu nasabah."

"Wah, kok bisa barengan gitu ya?"

"Asli. I'm beginning to wonder if you're stalking me," candaku.

Ia tertawa. "Mau nggak lo makan malam sama gue kalo gue jawab iya?"

Giliran aku yang tertawa. "Tergantung."

"Di Medan ada restoran dimsum yang enak banget, namanya Nelayan. Mau nyoba? Elo nginap di mana?"

"Di Aryaduta. Tapi..."

Divorce (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang