Kalau tidak salah, zaman dulu banget (waktu aku masih SD kali ya?), pernah ada serial televisi yang judulnya 9 to 5, ceritanya tentang kehidupan kantoran tiga perempuan yang bosnya nyebelin banget. Seingatku sih cukup kocak, walaupun nggak segokil The Office. Anyway, bukan itu inti ceritanya. Yang mau aku bahas adalah istilah nine to five itu sendiri (sering kan, mendengar orang ngomong "yeah, I have a nine-to-five job"). Dan bagi mereka yang mengatakan itu, I'm just gonna say, "Who are you kidding? Nine to five my ass."
Kalau kenyataannya memang ngantor jam 9 terus pulang teng jam 5, boleh deh ngomong begitu. Padahal nih ya, di atas kertas aja jam kantorku itu jam 8 sampai 5. Catat ya, di atas kertas. The reality is more likely 8 to 8-that is AM to PM-alias 12 jam kerja sehari.
Banyak sih yang bilang posisiku enak. Ruang kantor nyaman dan sejuk, ada asisten, bisa mengatur jam kerja sendiri, bisa selalu jalan-jalan. Tidak seperti teman-teman di frontliners, seperti teller atau customer service yang harus stand by melayani nasabah yang datang silih berganti setiap hari. Sejak papan di depan pintu bank menunjukkan kata-kata OPEN sampai CLOSED. Justru inilah masalahnya: meskipun pekerjaan mereka adalah tentang pelayanan, pekerjaan aku adalah tentang risiko. Lim bilang Relationship managers itu supermen dan wonder women. Semuanya dikerjain sendiri. Mulai dari mendekati perusahaan-perusahaan besar untuk mau memakai fasilitas kredit dari bank sampai menganalisis kelayakan bisnis si nasabah. Dalam arti orang-orang seperti Lim dan aku yang menyusun rekomendasi apakah si korporasi itu layak diberi kredit atau tidak.
Kalau pernah baca di surat kabar tentang pejabat bank yang dipanggil kejaksaan atas dugaan korupsi karena kredit yang disetujuinya macet, begitu juga nasibku kalau ada nasabahku yang sampai macet (amit- amit deh jangan sampe!).
Tuduhannya bisa macam-macam, mulai dari:
1. Kenapa kredit yang Saudara setujui bisa macet? (Jawabanku: "Kok tanya saya, tanya aja nasabahnya kenapa dia nggak bayar!")
2. Kalau Saudara tahu usaha nasabah akan menurun dan berhenti seperti sekarang, kenapa dulu kreditnya Saudara setujui? (Jawabanku, no brainer here: "Do you think I'm psychic? I'm not Mama Lauren, for God's sake."
3. Kenapa Saudara tidak melakukan penagihan secara efektif kepada nasabah? (Jawabanku, tanpa harus mikir: "Aduh, Pak, nagih utang teman saya yang utang makan siang berbulan-bulan yang lalu cuma tiga puluh ribu aja saya susah, apalagi nasabah yang utangnya tiga ratus miliar? Memangnya Bapak kira tampang saya dengan potongan rambut Toni and Guy dan make up SK-II ini cocok buat jadi tukang tagih?")
Dan masih banyak lagi deh.
Oke, ingat, semuanya, ini hanya lelucon. Aku tidak akan mengatakan semua ini di depan jaksa. Ga berani juga.
Kenapa juga aku jadi curhat tentang pekerjaanku ya?
Bayangkan saja, pagi-pagi begini, belum juga jam delapan, aku sudah harus pusing membaca messages dan e-mails yang masuk ke inbox-ku.
Yang menarik cuma chat ajakan cabut rapat dari Lim, walaupun setelah ku-klik ternyata isinya cuma begini:
From: Lim Manohara
Tadinya sih pengen ngajak elo cabut rapat, tapi kayaknya gue rugi banget kalau sampai melewatkan kesempatan menatap Sana sejam penuh tanpa gangguan. I love meetings!
Lim has a raging hormone of a teenager, indeed. Tapi yang bikin aku kaget justru e-mail dari Rosse:
From: Rosse
Hoorrayyy!! Tespek-nya negatif! I'm not pregnant! Kira-kira Seulgi marah nggak ya kalau gue minta undur tanggal pernikahannya? Gile, nggak siap gue, Neng, jadi bini orang 3 bulan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Divorce (JenSoo)
Roman d'amourKalo merasa cerita ini familiar ya gpp sih. Emg terinspirasi dri itu