17

964 128 17
                                    

MEMILIH, betapapun sederhananya pilihan, tidak pernah sesederhana itu. Bukanlah sekadar menjawab antara kertas atau plastik, teh atau kopi, hitam atau putih. Karena suka atau tidak, memilih itu seperti menyeimbangkan keistimewaan diri kita sendiri dengan keberadaan orang lain. Seperti bersikap pretentious dan toleran pada saat bersamaan. Dalam kesederhanaan pilihan itu dan kompleksitas proses memilih, terbentang fakta yang kita semua sudah tahu: setiap pilihan yang kita ambil memiliki efek domino. Memilih satu hal akan memengaruhi setiap hal-hal kecil ataupun besar yang berkaitan dengan pilihan itu, termasuk orang-orang di sekeliling kita. Jadi kita tidak bisa menyalahkan orang-orang terdekat kita jika bertanya kenapa kita memilih sesuatu, kan?

Jennie tidak pernah bisa menjelaskan kepada Rosse, Lim, atau orangtuanya kenapa dia dan Hyunjin tidak jadi menikah. Menjelaskan kepada Hyunjin pun Jennie tidak bisa. You know the feeling when you know what you want to do but you don't know why, you just know that was the right thing? Kalau ini bisa disebut penjelasan, Jennie hanya merasa tidak adil bagi Hyunjin jika Jennie menikahinya hanya karena dia menginginkan seseorang di sisinya. Tidak adil bagi Hyunjin jika calon ibu anak-anaknya bukanlah perempuan yang benar-benar mencintainya. Terkadang, kita memang harus memilih untuk menetap. Tapi bukankah kita seharusnya berdamai dengan orang yang benar-benar kita cintai, bukan orang yang kebetulan ada di sana?

Hyunjin doesn't deserve me. I don't deserve Hyunjin. -Jennie

Jadi apa yang Jennie lakukan selama delapan bulan terakhir sejak dia dan Hyunjin memutuskan hubungan mereka? Work. Menghabiskan dua belas jam sehari di kantor. Jennie tahu hal ini sangat klise, tapi kita terkadang harus memilih akan berhasil di hidup yang seperti apa, kan? Nigel di The Devil Wears Prada pernah berkata pada Andy, "Kamu tahu, kamu pasti bekerja dengan sangat baik ketika kehidupan pribadimu hancur."

Kehidupan pribadi Jennie tidak hancur, melainkan lenyap begitu saja.

Tidak ingat kapan terakhir kali Jennie memikirkan cinta. Cuma ada ketawa-ketawa bareng Lim di kantor, atau ngopi-ngopi dan shopping bareng dengan Rosse sekali-sekali si fashion editor satu itu sekarang lagi menikmati masa kehamilannya.

Jennie memilih menenggelamkan diri dalam pekerjaan.  Ya paling tidak dia masih punya laut yang positif. Nigel benar. Tiga ratus miliar dalam delapan bulan. Menjalani career acceleration program. Terbang ke berbagai penjuru Indonesia hampir setiap bulan untuk mengelola nasabahnya yang sekarang tersebar di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Walaupun terkadang, di saat Jennie baru kembali dari salah satu perjalanan dinas itu, terduduk sendirian di apartemen, mencoba melepas lelah sesaat, dan dia menatap reprint foto Kent H. Barton——ingat kan, foto yang merekam candid moment seorang ibu yang sedang mengejar bayinya yang merangkak——Jennie jadi tepekur. Berpikir apa artinya semua ini jika dia tidak punya pasangan hidup untuk berbagi, atau tawa anak-anak yang menyambutnya setiap pulang kerja.

Namun terkadang kita tidak bisa mendapatkan semuanya, bukan?


Jennie mengeraskan volume radio di mobil, takbir sedang berkumandang. Malam Lebaran, dan dia tadi masih lembur di kantor sampai jam setengah sembilan malam, mengejar target pekerjaan dan rapat keputusan kredit sebelum libur panjang.

"Kalo gue, lembur begini, emang gue nggak ngerayain Lebaran. Nah elo?" kata Lim tadi.
"Nggak dicariin ama bokap-nyokap lo?"

"Udah pada mudik duluan mereka ke Yogya dari kemarin, Lim. Lagian rese banget sih lo, pake nanya-nanya. Mending gue selesaiin kerjaannya sekarang, kali, daripada ntar pas libur Lebaran gue malah ditelepon-telepon mulu ama kantor," dalih Jennie.

"Emang kalo ditelepon-telepon terus kenapa? Kayak elo mau liburan beneran aja."

Kalau bisa memilih, mungkin Jennie akan langsung terbang liburan ke mana kek, daripada harus mudik ke rumah eyang di Yogya. Males aja mendengarkan sekeluarga besar orangtuanya bertanya-tanya kapan menikah lagi, or worse, berbisik-bisik membicarakan status jandanya di belakangnya. Kalau bisa memilih, Jennie cuma akan berada di sana pada hari pertama, sungkem ke orangtuanya, ke Eyang, dan langsung melarikan diri somewhere. Kita tidak akan pernah bisa mengontrol apa yang dibicarakan orang tentang kita, tapi kita harusnya punya pilihan untuk memosisikan diri apakah akan mendengarkan itu atau tidak. Hmmph... tetap saja detik ini wajah Jennie langsung empet membayangkan semua kejadian setiap Lebaran sejak empat tahun lalu.

Divorce (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang