Aku masih memikirkan tadi siang ketika aku sekali lagi melihat Jisoo tersenyum kepada perempuan itu. Masih ingat saat pertama kali aku dan Lim menyaksikan Jisoo dan perempuan itu makan malam bareng? Pertama kalinya aku melihat Jisoo dengan perempuan lain sejak kami bercerai. Delapan jam yang lalu rasanya seperti ada petir menyambar dan menyadarkanku. Dan petir itu berwujud perempuan cantik yang bukan sekadar cantik, tapi juga seorang dokter. Seseorang yang bisa memahami Jisoo lebih daripada aku, yang bisa duduk bareng dengan Jisoo di kantin rumah sakit, membahas pasien-pasien mereka, tertawa pada inside joke khas dokter tanpa harus lost in translation seperti aku.
I'm feeling as small and as insignificant as humanly possible.
But you know what the saddest part is? Aku bahkan sekarang tidak bisa menyalahkan Jisoo karena dulu menjauh.
Aku tidak bisa menghakiminya karena dulu mengabulkan permintaan cerai dariku dan tidak memperjuangkan pernikahan kami. Aku ini siapa kalau dibandingkan dengan perempuan itu?
"Jen?"
Aku menoleh ke arah suara yang menyela lamunanku. "Eh, Mino, kapan datangnya?"
"Baru aja, tadi gue langsung liat Tante di kamar. Udah baikan ya kayaknya, Jen? Sori gue kemarin-kemarin nggak sempat nengok di rumah sakit," ujar Mino, sepupuku.
"Nggak pa-pa kok. Gue ngerti banget jam kerja lo yang gila-gilaan itu," senyumku.
Mino tertawa. "Sama gitu kan, sama lo. Eh, gue nggak bisa lama-lama, gue balik dulu ya."
"Lho, jam segini mau balik kantor lagi?" Aku kaget. Jam di dinding dapur telah menunjukkan pukul delapan malam.
"Nggak, mau langsung pulang. Kasihan Istri gue lagi nggak enak badan, morning sickness-nya lagi parah. Namanya aja morning sickness, Jen, tapi malam-malam begini masih suka mual-mual juga istri gue."
"Wah, congrats ya, Min! Kok elo nggak cerita-cerita kalau istri lo udah hamil? Udah berapa bulan?"
"Hehehe, sori ya, lupa gue ngabarin elo. Kata dokter baru dua bulan sih."
Aku mengantar Mino ke halaman depan. "Ntar gue ke rumah elo deh. Istri lo ngidam apa, biar gue bawain."
"Belum ada ngidam apa-apa. Mudah-mudahan ntar juga kalau ngidam nggak yang aneh-aneh."
"Kayak handbag, sepatu, atau jam?"
Mino langsung tertawa. "Awas lo ya kalo ngeracunin otak istri gue. Bisa pusing gue kalau dia ntar mintanya yang begituan."
Mobil Rosse yang kini masuk ke halaman. Aku melambai saat Mino berlalu dengan mobilnya.
"Siapa, Jen?" tanya Rosse yang kini telah berdiri di sebelahku.
"Sepupu gue. Masuk yuk."
"Ih, elo ya, punya sepupu cakep gitu nggak ngomong-ngomong ke gue," Rosse mengikutiku ke ruang tengah.
"Yeee, udah kawin kaleee."
"Kawinnya kapan coba? Emang dari zaman gue ama lo masih kuliah dulu dia udah kawin? Belum, kan?"
"Udah mau naik pelaminan juga, masih gatel aja lo," cibirku.
Rosse tertawa. "Setan, malah nuduh gue gatel. Eh, nyokap lo mana? Gue ke sini untuk jenguk nyokap lo, bukan ngegosip sama lo."
Hampir tengah malam saat akhirnya aku dan Rosse meninggalkan rumah orangtuaku. Aku memilih meninggalkan mobilku di sana dan nebeng Rosse daripada nyetir sendiri dalam keadaan ngantuk luar biasa seperti ini.
"Eh, Jen, bangun!"
Aku tersentak. "Buset, kenceng banget sih lo ngomong. Ngantuk gue, dodol."
"Gue juga ngantuk, makanya ngobrol dong biar kita sama-sama nggak ngantuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Divorce (JenSoo)
RomanceKalo merasa cerita ini familiar ya gpp sih. Emg terinspirasi dri itu