14

1.1K 126 35
                                    


Aku tahu perceraianku dan Jisoo tidak akan pernah masuk daftar Time (memangnya aku siapa sampai harus dibahas-bahas majalah), secara perpisahan Reese Witherspon dan Ryan Philippe yang hebohnya setengah mati itu aja nggak masuk.

Aku merasa beruntung karena perceraianku tidak perlu jadi incaran setiap acara infotainment di televisi, mendengarkan orang-orang yang tidak kukenal sok tahu membahas akibat perceraian itu.

Perceraianku memang tidak penting sama sekali buat dunia, tapi buat keluarga besarku... hhhh, they just can't seem to stop talking about it.

"Kamu nggak pa-pa kan, Jennie?" Retorik.

"Kok bisa sampai cerai, Jen?" Nggak perlu dijelaskan.

"Dari dulu Tante juga sudah tahu Jisoo itu nggak tepat buat kamu." Ha? Apa pula maksudnya itu?

"Mungkin sebagai perempuan kamu harusnya lebih sabar sedikit, Jen, jangan terlalu mengejar karier. Toh Jisoo juga dokter bedah, kamu nggak usah kerja lagi juga hidup kamu senang." Kalau ini film kartun, mukaku pasti sudah merah padam dan telingaku mengeluarkan asap mendengar ucapan terakhir itu.

Sampai: "Jangan khawatir, Jen. Nanti juga kamu akan ketemu yang baru lagi." Ya, terserahlah.

Atau: "Jennie, nggak usah takut dengan predikat janda kamu. Nggak semua janda imejnya jelek, kan?" Wanna say WTF to that last sentence, tapi daripada dosa ngomong begitu ke orang yang lebih tua, dan dicap sebagai keponakan paling kurang ajar, aku memilih senyum-senyum standar dan sesegera mungkin melarikan diri.

It's funny how in Indonesia, prestasi seorang perempuan itu umumnya dinilai dari apakah ia telah menikah. Apakah ia telah menikah dengan pria yang mapan, kaya, tampan, alim, rajin menabung, suka menolong. Apakah ia punya keluarga yang bahagia. Apakah ia punya anak-anak yang cakep dan pintar. Lantas, ketika pernikahan itu bubar, semua "kekerenan" jadi perempuan itu hilang. Lenyap. Yang ada cuma the blame game. Sudah jelas kan, yang jadi korban the blame game itu siapa? Di saat "duda keren" terdengar sangat cool, "janda kembang" justru terdengar amat merendahkan.

"Serius lo? Wah, selamat yaaa! Seneng banget gue dengernya, Jen, sumpah!" Rosse kemarin langsung memelukku saat aku bercerita sudah menerima lamaran Hyunjin. She's such a great friend, you know, nggak pernah sok tahu mengatakan "gue tahu apa yang lo rasakan" setiap aku bercerita tentang masalahku ke dia, tapi selalu bisa memberi nasihat yang membuat hatiku tenang.

Walaupun detik ini, ketika aku menatap Rosse yang sedang mematut kebaya pengantinnya di depan kaca, yang terlintas di kepalaku adalah apakah nanti juga aku akan se-glowing itu saat mempersiapkan pernikahanku dengan Hyunjin.

"Hei, Neng, bengong mulu lo," seru Rosse. "Kenapa? Takjub ngeliat betapa cantiknya gue ya?"

Aku jadi tertawa. "Ge-eran banget sih lo jadi orang."

"Eh, ini mah bukan ge-er. Tapi fakta. Emang cantik gue, kan?" Rosse tersenyum sumringah.

"Iya, iya. Kemarin yang baru di-refitting bagian mana- nya, Ross?"

Rosse menunjuk lengan kebayanya. "Tadinya ini agak longgar gitu, gue minta dipasin aja. Menurut lo sekarang gimana? Udah oke, nggak?"

"Udah," anggukku. "Udah pas banget tuh. Eh, bentar ya, Ross," aku merogoh saku blazerku yang bergetar-getar dari tadi, tersenyum melihat nama yang berkedip-kedip di layar ponselku.

"Sayang, lagi di mana?" suara Hyunjin menyapa saat aku memencet tombol answer.

"Di Kebayoran, nemenin Rosse fitting. Kamu masih di kantor?"

"Iya, tapi udah kelar sih. Kamu ke mana abis dari situ? Makan malam yuk."

"Pengennya sih, Yang, tapi malam ini aku nggak bisa, abis ini aku mau langsung ke rumah Mami."

Divorce (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang