10

543 19 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku."

- Umar bin Khattab -

***

Pernikahanku dan Mas Fajar dilaksanakan tepat satu minggu setelah acara lamaran itu. Acara pernikahan kami tergolong sederhana karena kami tidak melaksanakan resepsi, kami hanya melakukan akad di rumah orang tuaku yang itupun hanya segelintir orang yang di undang. Ini semua adalah permintaanku, aku tak ingin ada ucapan buruk yang keluar entah itu tentangku atau Mas Fajar.

Sungguh berbanding terbalik dengan pernikahan Mas Fajar dan Mbak Sheila.

"Dek, udah selesai belum?" tanya Mas Fajar. "Mas udah selesai mandinya sekarang giliran kamu."

Aku pun mengangguk dan meletakkan kapas bekas pembersih wajahku tadi. Lalu mengambil handuk serta satu set pakaian tidurku dan masuk ke kamar mandi.

Setelah cukup lama berdiam di dalam kamar mandi aku pun keluar. Hal pertama yang kulihat adalah Mas Fajar yang telah tertidur di salah satu sisi kasur.

Dalam hati aku mengucapkan syukur dengan keras. Bukan karena apa, tapi aku belum siap. Aku pun melangkah mendekati sisi kasur yang lain dan membaringkan tubuhku membelakangi Mas Fajar.

Aku berbalik menghadap ke Mas Fajar. "Mas," panggilku setelah lama dalam posisi diam. Aku menatap punggunnya, mungkinkah Mas Fajar sudah tidur?

"Hm, adek belum tidur?"

Lalu terdengar grasak grusuk dari depanku. "Jangan Mas, jangan berbalik. Biarkan seperti ini saja," kataku.

Aku tau Mas Fajar berniat untuk berbalik menghadapku namun aku menghalanginya. Aku sedang tak ingin melihat wajahnya. Aku takut jika melihat wajahnya maka aku tak akan berani mengutarakan isi hatiku.

"Kenapa dek?" Tanyanya sekali lagi.

"Kenapa Mas menerima semua ini? Bukannya Mas bisa menolak, atau setidaknya Mas pura-pura lupa atas wasiat itu."

"Mas yakin dengan semua ini? Aku takut Mas, aku takut kalau seandainya nanti aku sudah mencintai Mas ternyata Mas hanya mencintai Mbak Sheila. Akku gak mau cuma jadikan bayang-bayang Mbak Sheila. Aku gak mau Mas, aku dan Mbak Sheila jelas dua orang yang berbeda," lanjutku panjang lebar.

Aku dapat mendengar tarikan nafas yang dalam dari laki-laki di depanku ini.

"Sekarang Mas tanya, kenapa adek mau terima lamarannya Mas? Padahal ibuk sama bapak enggak pernah maksa adek, malah mereka menanyakan keputusan adek itu."

Aku terdiam. Memikirkan apa sebenarnya alasanku menerima pernikahan ini.

"Sudah tau jawabannya? Kalau jawaban kamu adalah demi Ashraf dan mbakmu, maka jawaban kita sama. Mas tau kamu dan mbakmu adalah dua orang yang berbeda. Mas gak akan pernah menjadikan kamu sebagai pengganti mbakmu."

Saat aku akan menyelah Mas Fajar kembali berkata, "Mas memang belum bisa melupakan mbakmu, tapi bukan berarti mas akan menjadikan kamu bayang-bayang mbakmu."

"Dek, pernikahan itu enggak bisa kalau cuma satu pihak saja. Jadi kita harus sama-sama berjuang untuk pernikahan ini."

***

اَلْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

AmanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang