xii. habiskan waktu sebelum waktunya habis

27 5 4
                                    

  Sore ini, 3 April 2004, aku dan dia, Atlanna. Menaiki sepeda bersama. Dibawahnya sinar yang perlahan-lahan redup dari tempatnya, yang akan tenggelam ditelan lautan.

  "WOOOOHOOOOO!" sorak ku bahagia. Hari ini kami libur, memutuskan untuk berjalan-jalan. Kata bunda, agar tidak rindu jika besok sudah tak lagi bertemu. Terdengar sedikit kasar, namun itu memang yang apa yang seadanya harus diterima.

  Sepasang mata indah itu, mata milik gadis bernama Atlanna Deamora yang aku cinta dan aku akui indah parasnya, selalu menatapku sendu semenjak Ayah tahu kebenarannya. Bahwa aku dan Atlanna, jelas berbeda dan tak bisa bersama selamanya.

  Mungkin bisa, sebagai teman. Bukan pasangan.

  Kepala ku sedikit menoleh ke belakang, untuk sekedar melihat surainya yang beterbangan. "Lan?" panggilku.

  Gadis yang awalnya terpaku menatapku itu menunjukkan gelagat bingung setelah namanya dipanggil. "Eh- hm?" sahutnya gelagapan, ia mengalihkan pandanganya ke sungai dibawah kami.

  "Kamu seneng enggak?" tanyaku, kami masih melaju menggunakan sepeda yang ku kayuh. Diatas jembatan, dengan angin kencang yang menerpa.

  Atlanna menaikkan alisnya, menatapku penuh tanya. "Apa?"

  Kekehan kecil keluar dariku, "Enggak, gajadi" aku menggelengkan kepalaku pelan.

  Gadis itu tersenyum kecil, lalu membenahi anak rambutku yang berterbangan. "Aku seneng, bisa sama kamu sejauh ini, melalui banyak hal sama-sama baik susah dan senang. Walau jauh secara nyata, kita dekat di doa." ujarnya.

  "Pantaskah aku bilang kita dekat di doa?" lanjutnya, masih dengan senyuman yang tersungging. Namun, sekarang terasa lebih sendu dari sebelumnya.

Sandyakala dan AmertanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang