Chapter 6

2.2K 230 4
                                    

Rafael membuka matanya perlahan. Dia mencoba menilai situasinya saat ini. Dia tidak merasakan sakit apapun, tidak ada mimisan, atau rasa mual. Dia hanya, baik-baik saja.

Sambil duduk di sofa empuk, Rafael membuka toples kue nastar diatas meja di hadapannya. Didepan meja itu, seorang wanita paruh baya sedang duduk nyaman sambil memegang buku catatan yang diletakkan dipangkuannya.

Wanita itu mengenakan jas dokter, di bagian dadanya terdapat name tag namun Rafael tidak mampu membacanya karena seperti ada kabut yang menghalangi penglihatannya.

Diruangan serba putih ini, wanita itu membuka mulutnya. "Rafa, Apakah 'dia' sering keluar akhir-akhir ini? "

Setelah diberi pertanyaan itu, Rafael menjawab sambil memakan kue nastar, " Tidak juga. Cukup damai akhir-akhir ini. "

"Apa Rafa ingat, Kapan terakhir kali 'dia' keluar? "

"Mungkin sekitar 2 minggu yang lalu? dokter juga tahu kalau persepsi waktuku agak buruk kan? "

Rafael menjawab secara alami. Tapi didalam hatinya dia tahu bahwa ini bukanlah kenyataan. Tapi didalam mimpi ini, dia tidak bisa mengendalikan diri. Jawaban jawaban selalu datang seiring dengan pertanyaan psikiater di hadapannya.

Dan Ngomong-ngomong, Rafael tidak suka nastar jadi dia berharap bisa mengendalikan tangan ini dan berhenti mengunyah tapi apa daya, jalani saja.

"Begitu yah, lalu sekitar 2 minggu itu, apa adek Rafa ingat kejadian apa yang memicu hingga 'dia' muncul? "

Mendengar pertanyaan itu, 'Rafa' akhirnya berhenti memakan nastar. Dia menatap psikiater itu dengan tatapan kosong dan dia tiba-tiba tertawa sinis. Sambil bersandar di sandaran sofa, matanya menatap santai kedepan sambil tersenyum.

  "Sepertinya kalian cukup penasaran tentangku? "

Saat itu, Rafael merasa bahwa dia telah menjadi seseorang yang berbeda, dan ruangan runtuh. Saat ruangan itu runtuh, Rafael melihat wajahnya dipantulan cermin.

Pemuda berusia 20an sedang menatapnya dengan ekspresi wajah main-main.

"Kan? "

Setelah mengatakan itu, Rafael terbangun dari mimpinya.
.
.
.
.

Saat dia membuka mata, apa yang dilihatnya adalah langit-langit putih familiar. Seiring dengan itu, dia juga merasakan sakit kepala dan diikuti dengan tinnitus yang menghancurkan telinganya.

'Apa-apaan'

Rafael mengerutkan keningnya karena sakit kepala itu, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam itu, tinnitus serta sakit kepalanya berhenti.

  Begitu memperhatikan dengan lebih seksama, dia kemudian menyadari bahwa dia tidak sedang berada di ruangan rumah sakit. Namun kamar biasa tapi dia bingung ini milik siapa dan saudara laki-lakinya David sedang berbaring disamping tempat tidurnya sambil memegang tangannya.

'Apa kasur rumah sakit sebesar ini?' Batin Rafael.

Mungkin karena merasakan gerakan tangan Rafael, David terbangun dan mengucek matanya. Ini mungkin pertama kalinya Rafael menyadari bahwa warna mata David sedikit berbeda. Warnanya sedikit hijau jika dilihat lebih dekat.

"Hmm, sudah tidak demam"

Bisik David saat menyentuhkan kening Rafael dan keningnya sendiri. Ini juga alasan Rafael bisa melihat warna matanya dengan lebih jelas.

Melihat wajah pucat dan khawatir David, hati Rafael merasa sedikit sakit. Seperti diiris oleh belasan pisau tajam tapi pada saat yang sama dia juga tau mulai memahami dirinya sendiri. Dia merasa bersalah.

It's SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang