"a person who wastes his luck on stupid things can never be the best in the world."
-
Sae terbangun di ranjang rumahnya dengan mata yang terasa berat. Dengan susah payah, ia mendudukkan diri dan menyadari bahwa kesehatannya menurun.
Dengan tangan gemetar, ia mengecek suhu tubuhnya sendiri, dan kekhawatirannya terbukti ketika termometer menunjukkan angka yang tinggi. Ia yakin bahwa dirinya sedang sakit, dibuktikan dengan rasa pusing yang menyerangnya dan gejala flu yang mulai muncul.
Dari arah pintu, Rin datang dengan ketukan lembut.
"Apa kau baik - baik saja?"
Sae dengan susah payah mencoba tersenyum, "aku baik - baik saja, Rin. Terima kasih sudah bertanya. Tapi sepertinya hari ini aku harus libur, tidur seharian agar tidak mati besok pagi."
Rin mengangguk pengertian dan menyuruh Sae untuk istirahat, "aku memasak tadi, jadi kalau kakak mau makan. Mungkin kau bisa memakannya."
Sae berterima kasih pada Rin, namun, sebelum Rin pergi, ia memutuskan untuk memberikan peringatan.
"Rin, aku harus bilang sesuatu. Kaiser bukanlah orang yang baik. Dia bukan teman karena ikatan, tapi karena dia selalu punya maksud tertentu. Sebagai seorang kakak, tugasku adalah menjauhkan mu dari bahaya, kan?"
Rin, tanpa ekspresi berubah, tampaknya tak acuh. Ia mengabaikan peringatan kakaknya, walau sebenarnya ada keraguan yang tersembunyi di balik tatapannya.
Rin meninggalkan ruangan, dan Sae duduk di ranjang dengan rasa cemas yang menyelinap dalam benaknya. Apakah peringatannya akan diabaikan, ataukah ia berhasil menyadarkan Rin dari hubungan yang berbahaya dengan Kaiser?
-
Sae melahap makanan yang Rin siapkan, dan dengan setiap suapan, ia merasakan kehangatan yang terasa lebih dari sekadar panasnya sup.
Ternyata, obat telah diselipkan di antara hidangan yang Rin siapkan. Sae merasakan rasa syukur yang mendalam terhadap adiknya yang begitu perhatian.
Meskipun beberapa hari terakhir diwarnai oleh kejadian tidak enak, Sae merasa bersyukur bahwa di tengah badai itu, ada cahaya kecil dalam bentuk perhatian dan kebaikan dari Rin.
Momen ini menjadi pengingat bahwa di antara cobaan dan ketidakpastian, ada kebahagiaan dan dukungan dari orang-orang terdekat.
Sae menghela nafas lega, mengetahui bahwa meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, ia tidak sendirian. Hubungan dengan Rin, meskipun rumit, juga menjadi sumber kekuatan di tengah badai yang melanda.
Membuka tablet obat, ia menelan butiran pahit itu dalam sekali tegukan, "Rin pulang jam berapa ya hari ini?"
Pertanya itu mengudara sembari dirinya melirik pada jam dinding, menyeka mulutnya yang basah ia meletakkan gelas minum. Menaiki tangga, memilih untuk kembali beristirahat sebelum ia tumbang dan terjadi hal merepotkan lainnya.
Rumah yang tertata rapi ini adalah bentuk dari kedisiplinan sepasang saudara Itoshi. Mereka dididik untuk menjadi pribadi yang bisa mandiri dan disiplin.
Setidaknya karena orang tua mereka sudah lama berpisah. Karena pekerjaan mereka yang terus - menerus dikejar, keduanya sama sekali tidak memiliki waktu untuk sekedar bersama. Akhirnya perceraian menjadi ujung jalan.
Meninggalkan Sae dan Rin, dirumah penuh kenangan kecil yang singkat. Hanya bertemu sekali di tiap bulannya dan mengirimkan uang.
Seakan mereka hanya menyanggupi tanggung jawab tanpa peduli pada kebutuhan emosional anak - anak mereka. Meskipun berprestasi atau mungkin tergolong jenius, mereka tidak peduli. Selama itu tidak mencoreng nama Itoshi, apapun itu.
Selama pekerjaan mereka tidak terhambat, Sae bisa melakukan apapun untuk membuat Rin menjadi tittle kebanggaan keluarga. Sama seperti dirinya.
"aku tidak akan pernah membuat Rin sepertiku, sialan" gumaman Sae itu menjadi akhir dari kesadaran yang terenggut paksa oleh obat.
-
Rin memasuki rumah dengan langkah yang terlihat gontai, membawakan dua gelas susu ke dapur. Dengan cekatan, ia menyelipkan sesuatu di antara kedua gelas tersebut.
Keberuntungan membuat kakaknya, Sae, turun tepat saat Rin berada di dapur. Sae, dengan raut wajah yang masih mencerminkan penyembuhan dari penyakitnya, bertanya bagaimana hari Rin.
Rin menjawab dengan tenang, berbeda dari kebiasaannya.
"Bagaimana hari mu Rin, semuanya berjalan lancar?"
"tentu saja, aku bisa melewatinya dengan mudah. Aku selalu bisa di pelajaran bahasa asing, kau tau itu tujuan ku masuk ke Hubungan Internasional."
Hal itu tidak menimbulkan kecurigaan apa pun pada Sae, yang indera pengecap dan penciumannya belum sepenuhnya pulih. Rin menyodorkan segelas susu putih pada kakaknya, yang dengan senang hati menerima tanpa mencurigai apa pun.
"segelas susu setelah sampai di rumah, mengenang sedikit masa lalu?"
Rin mendengus, "orang sakit tidak boleh banyak omong."
Sae, merasa sudah mendingan, meneguk susu dengan penuh harap. Namun, sesaat setelah meneguknya, dunia di sekitarnya berputar cepat, dan ia pingsan, menjatuhkan gelas yang pecah di lantai.
"Ka-kakak?!"
Rin hanya bisa menatap dengan tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
Meskipun ini adalah rencananya, ternyata melihat kakaknya pingsan begitu saja membuatnya merasa belum siap. Rasa campur aduk dalam dirinya, antara keberanian untuk melanjutkan rencananya dan keraguan akan konsekuensinya, menciptakan kekacauan emosional yang sulit diungkapkan.
-
To Be Continue>>>
Don't forget to give me vote and comment!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You Can Beat Me [Brotherhood]
FanfictionIkatan darah memiliki arti yang berbeda dalam setiap kehidupan manusia. Mereka yang menderita olehnya akan menganggap bahwa sebuah ikatan darah merupakan kutukan. Mustahil untuk menghilangkannya kecuali ajal lah yang membebaskan. Atau mungkin membua...