"it's time to dream, fall under my magic, devil."
-
Sae sama sekali tidak menyalahkan Rin, dan mungkin, ia bahkan tidak menyalahkan siapapun. Meskipun ponselnya berdering dengan puluhan pesan masuk dan panggilan yang tak terjawab, Sae tetap terpaku dalam ruangannya.
Sudah lebih dari seminggu sejak terakhir kali ia pergi ke kampus, lebih dari seminggu tanpa makan dengan benar. Ia hanya bergulat dalam gelap, meraung kesakitan karena harga dirinya yang sudah terkoyak.
Rin, yang selalu mendengar kakaknya merintih dalam keheningan, merasa beban rasa bersalah yang semakin berat di dadanya.
Setiap langkah yang diambil oleh Sae terasa sebagai racun nyata akan kesalahannya. Keputusan yang ia ambil untuk membantu rencana Kaiser membawa dampak yang begitu besar dan merusak.
Dalam keputusasaan dan penyesalan, Rin berpikir lebih baik Sae memukulinya daripada harus menyaksikan kakaknya terluka seperti ini.
Ia merasa telah merusak dirinya sendiri dan mengkhianati semua orang yang pernah dipercayai. Kesedihan dan kegelisahan merayap di antara dua saudara ini, menciptakan luka yang terus tumbuh dalam dan sulit sembuh.
Bahkan gumaman kata maaf itu tidak pernah berhenti ketika Rin yang berada tepat disebelah ruangan Sae mulai mendengar rintihan sang kakak. Mereka sama - sama terluka, berkat permainan iblis yang sengaja dipancing oleh satu orang.
Tapi tentu saja, Kaiser tidak disalahkan sepenuhnya. Rin adalah orang yang berjasa atas hancurnya harga diri seorang Itoshi Sae.
Itu bukan suatu kebanggaan, karena di dalam hati Itoshi Rin yang paling dalam. Dia tetap lebih menyukai Sae yang tersenyum penuh dengan kemenangan.
-
Rin duduk di meja makan bersama Tuan dan Nyonya Itoshi.
Mereka sama sekali tidak tahu tentang kondisi Sae, karena kakaknya itu tak pernah membagikan penderitaannya kepada siapapun.
Hari itu, untuk pertama kalinya, di pertemuan rutin keluarga ini, Sae turun dengan sosok tirus dan kurus. Terlihat jelas bahwa ia sama sekali tidak merawat dirinya seperti biasanya, dan keadaannya sangat kacau serta terlihat sangat tertekan.
Nyonya Itoshi menghampiri putra sulungnya dengan ekspresi kekhawatiran yang mendalam. Ia memeluk Sae dengan erat, menangis untuk kondisi putranya yang semakin memburuk.
Kegelisahan dan kesedihan memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer yang penuh dengan beban emosional.
Setidaknya anak sulung dari keluarga Itoshi ini mencoba untuk tetap tersenyum, "aku baik - baik saja, ibu. Tidak ada yang perlu di khawatirkan, aku ... mungkin akan mulai kuliah lagi besok."
"apa yang kau bicarakan Sae-chan?! kau harus istirahat! mana mungkin dengan kondisi mu yang-"
"tidak apa - apa, aku sudah mengambil libur terlalu banyak, padahal aku masih baik - baik saja. Ayo kita makan, kalian pasti lapar."
Ajakan itu membuat Nyonya dan Tuan Itoshi terdiam, mereka hanya bisa menyanggupi itu dengan Rin yang hanya berdiam bahkan ketika Sae mengambil duduk disebelahnya. Sae masih sama, berusaha menanggapi sebisanya apapun yang dikatakan oleh kedua orang tuanya.
Dan ketika satu suap makanan itu masuk, rasa mual menjalar dari organ pencernaannya. Menolak untuk sesuap makanan yang nampak lezat.
Sae dengan cepat menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi dengan cepat memuntahkan semua isi perutnya.
"Kakak!" Rin langsung berdiri, berbeda dengan Nyonya dan Tuan Itoshi yang hanya bisa syok.
Sae mengangkat tangannya pada Rin yang ada diambang pintu, ia berkata bahwa dirinya masih baik - baik saja. Ini hanya karena ia merasa kurang sehat hari ini. Bukan apa - apa, ia masih bisa menahannya.
Rin menatap tidak percaya pada punggung terbalut t-shirt putih itu, bagaimana mungkin orang seperti itu masih bisa berkata demikian?
"kau masih bisa bilang itu setelah puluhan kotak rokok berserakan di lantai kamar mu?! Apa kau ingin mati karena merokok, dasar kakak bodoh!!"
Kepala Sae perlahan mendongak, kemudian menoleh pada adiknya.
Betapa terkejutnya Rin ketika darah mengalir dari ujung bibir serta hidung Sae. Membuatnya seketika membeku di tempatnya dengan rasa takut.
"Bukan ide yang buruk," ujarnya menyeka darah yang keluar. Dengan santai berdiri kemudian mengulurkan tangannya yang penuh darah "bisa kau ambilkan tissue untuk ku?"
Dengan patah - patah ia meraih kotak yang tidak jauh darinya, kemudian diberikan pada sang kakak.
"terima kasih,"
Lalu Sae menyeka semua darah yang ada di wajah dan tangannya. Meninggalkan Rin untuk menenangkan kedua orang tuanya yang terlihat panik. Seakan tidak terjadi apapun.
Kehebatan Sae adalah satu alasan Rin untuk selalu terpaku pada bayangan. Ia menggenggam dirinya sendiri untuk memikirkan hal mustahil seperti melampauinya atau sebagainya. Padahal semua itu tidak benar.
Rasa putus asa bukan satu - satunya hal yang menyangkut dihatinya, ia ingin dipandang oleh semua orang selayaknya Sae yang selalu bersinar di puncak.
Entah sejak kapan, Rin sudah mendoktrin dirinya sendiri untuk menjadi seperti Sae, kakaknya yang selalu nampak sempurna.
-
Sae memanggil Rin ke balkon, menciptakan suasana ketegangan yang terabaikan di antara dua saudara ini.
Rin merespons panggilan kakaknya, dan mereka berdua menemui satu sama lain di bawah langit yang gelap.
Dalam cahaya redup, Sae mungkin akan mencoba untuk mengekspresikan apa yang terpendam di dalam hatinya, membagikan beban yang selama ini ia pendam. Percakapan di balkon ini mungkin akan menjadi awal dari pemulihan, atau mungkin juga memunculkan lebih banyak pertanyaan yang sulit dijawab.
Hanya waktu yang bisa memberikan jawaban, sementara malam pun berlanjut dengan perbincangan yang tak terucapkan.
Dengan sebatang rokok di tangannya, Sae dan Rin berdiri di balkon. Sae mengepulkan asap tembakau ke udara, menciptakan suasana yang sarat dengan ketegangan yang masih menyelinap di antara mereka.
Rin akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan kebencian dan keinginannya yang terpendam selama ini.
"Aku tidak suka selalu berada di bawah bayanganmu. Aku muak dibandingkan dan aku benci selalu berada di bawahmu. Aku ingin memiliki semua yang kamu punya. Aku menginginkannya," ucap Rin dengan tegas.
Sae tersenyum sambil terus menghirup rokoknya. "Kamu mengikuti Kaiser, bukan? Aku tidak menyalahkanmu," ucapnya, mencoba memahami keadaan adiknya.
"Hanya saja, mulai sekarang, kau akan mendapatkan semuanya. Aku akan mewujudkan keinginanmu," tambahnya, menciptakan kesepakatan antara dua saudara ini.
Mungkin, inilah awal dari perubahan dan pemahaman di antara mereka.
Malam itu berakhir dengan percakapan singkat sepasang saudara yang telah saling melukai sejak lama. Entah bagaimana cara Sae untuk memenuhi keinginan sang adik, tapi mungkin dirinya pun juga merasakan apa yang Rin rasakan.
Karena itu, seperti selayaknya seorang kakak, dia mungkin akan mengalah.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Itoshi Sae akan menyerah pada takdir yang membawa langkahnya juga Rin menuju persimpangan dengan jurang sebagai pemisah. Mereka sudah terlalu jauh, jadi ia hanya perlu membuat jarak itu tidak lagi bisa ditempuh kan?
Dengan begitu Rin tidak akan lagi melihatnya sebagai cahaya, dan menjadi bayangan.
Sae akan menciptakan dunia dimana Itoshi Rin adalah karakter utamanya.
-
To Be Continue>>>
Don't forget to give me vote and comment!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You Can Beat Me [Brotherhood]
FanfictionIkatan darah memiliki arti yang berbeda dalam setiap kehidupan manusia. Mereka yang menderita olehnya akan menganggap bahwa sebuah ikatan darah merupakan kutukan. Mustahil untuk menghilangkannya kecuali ajal lah yang membebaskan. Atau mungkin membua...